Compiled by: ANDIKAMAULANA
I.
PENDAHULUAN
Dr. Muhammad bin Muhammad
Abu Syahbah dalam al-Isra'iliyat wa al-Maudu'at fî Kutub
at-Tafsir, menjelaskan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang paling mulia. Hal
ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, objek kajian. Objek
kajian ilmu tafsir adalah Alquran, firman Allah. Tidak ada ungkapan paling
mulia, paling benar, dan penuh dengan hikmah dan petunjuk, kecuali Alquran yang
diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Kedua, tujuan
kajian. Tujuan ilmu tafsir adalah berpegang teguh pada tuntunan Allah, guna
mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Ketiga, kebutuhan.
Kesempurnaan agama dan duniawi butuh pada ilmu-ilmu syariat, dan sumber ilmu
syariat adalah Alquran.
Menurutnya lagi, tafsir
sendiri bermakna ilmu yang membahas keadaan Alquran dari segi tujuan Allah
(dalam ayat-ayat-Nya), dan dari segi kemukjizatannya, dengan kadar kemampuan
manusia yang memahaminya.
Dari
sini, tafsir adalah penjelasan Alquran. Alquran yang terkadang bersifat umum,
susah dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih
lanjut, supaya Alquran dapat dicerna oleh seluruh kalangan dan dijadikan
rujukan dan panduan dalam kehidupan.
Banyak
orang mencari dan bertanya tentang kitab tafsir yang paling baik penafsirannya,
paling baik sistematika pembahasannya, dan paling baik dan mudah dimengerti
bahasanya. Jika dilihat dalam tafsir-tafsir klasik, hal-hal ini susah didapati.
Salah satu kitab tafsir dapat menjawab kebutuhan orang banyak ini, adalah Tafsir
al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj, Sebuah kitab tafsir
kontemporer yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.[1]
II.
POKOK
PEMBAHASAN
a. Latar
Belakang Intelektual Penulis
b. Motode
Penafsiran
c. Corak
Penafsiran
d. Contoh
Tafsiran
e. Komentar
Ulama
f. Analisis
Kelebihan dan Kelemahan
III.
PEMBAHASAN
A.
LATAR
BELAKANG INTELEKTUAL PENULIS
Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili
adalah seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia. Pemikiran fikihnya
menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya
yang berjudul Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh.
Wahbah Az Zuhaili lahir di desa
Dir `Athiah, Siria pada tahun 1932 M dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah
binti Mustafa Sa`dah.
Wahbah Az Zuhaili mulai belajar Al Quran
dan sekolah ibtidaiyah di kampungnya. Ia menamatkan ibtidaiyah di Damaskus pada
tahun 1946 M. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuliah Syar`iyah dan tamat pada
1952 M. Ia sangat suka belajar sehingga ketika pindah ke Kairo ia mengikuti
kuliah di beberapa fakultas secara bersamaan, yaitu di Fakultas Syariah dan
Fakultas Bahasa Arab di Universitas Al Azhar dan Fakultas Hukum Universitas
`Ain Syams. Ia memperoleh ijazah sarjana syariah di Al Azhar dan juga
memperoleh ijazah takhassus pengajaran bahasa Arab di Al Azhar pada tahun 1956
M. Kemudian ia memperoleh ijazah Licence (Lc) bidang hukum di
Universitas `Ain Syams pada tahun 1957 M, Magister Syariah dari Fakultas Hukum
Universitas Kairo pada tahun 1959 M dan Doktor pada tahun 1963 M.
Satu catatan penting bahwa, Syaikh
Wahbah Az Zuhaili senantiasa menduduki ranking teratas pada semua jenjang
pendidikannya. Menurutnya, rahasia kesuksesannya dalam belajar terletak pada
kesungguhannya menekuni pelajaran dan menjauhkan diri dari segala hal yang
mengganggu belajar.
Moto hidupnya adalah, “Inna
sirra an-najah fi al-hayah ihsan ash-shilah billah `azza wa jalla”,
(Sesungguhnya, rahasia kesuksesan dalam hidup adalah membaikkan hubungan dengan
Allah `Azza wa jalla).
Ø Karir
Akademis
Setelah memperoleh ijazah Doktor,
pekerjaan pertama Syaikh Wahbah Az Zuhailli adalah staf pengajar pada Fakultas
Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963 M, kemudian menjadi asisten dosen
pada tahun 1969 M dan menjadi profesor pada tahun 1975 M. Sebagai guru besar,
ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di negara-negara Arab, seperti
pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas
Benghazi, Libya; pada Universitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas
Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Beliau juga pernah mengajar pada
Universitas Emirat Arab.
Beliau juga menghadiri berbagai seminar
internasional dan mempresentasikan makalah dalam berbagai forum ilmiah di
negara-negara Arab termasuk di Malaysia dan Indonesia. Akan tetapi, di Medan
belum pernah. Ia juga menjadi anggota tim redaksi berbagai jurnal dan majalah,
dan staf ahli pada berbagai lembaga riset fikih dan peradaban Islam di
Siria,Yordania, Arab Saudi,Sudan, India, dan Amerika.
Ø Karya
Ilmiah
Syaikh Wahbah Az Zuhaili sangat
produktif menulis, mulai dari artikel dan makalah sampai kepada kitab besar
yang terdiri atas enam belas jilid. Dr. Badi` As Sayyid Al Lahham dalam
biografi Syaikh Wahbah yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah Az
Zuhaili al -`Alim, Al Faqih, Al Mufassir menyebutkan 199 karya tulis
Syaikh Wahbah selain jurnal. Demikian produktifnya Syaikh Wahbah dalam menulis
sehingga Dr. Badi` mengumpamakannya seperti Imam As Suyuthi (w. 1505 M) yang
menulis 300 judul buku di masa lampau.
Di antara karyanya terpenting adalah:
a.
Al Fiqh Al
Islami wa Adillatuh,
b.
At Tafsir Al Munir
c.
Al Fiqh Al Islami fi
uslubih Al Jadid
d.
Nazariyat Adh
Dharurah Asy Syari`ah
e.
Ushul Al Fiqh Al
Islami
f.
Az Zharai`ah fi As
Siyasah Asy Syari`ah
g.
Al `Alaqat
ad-Dualiyah fi Al Islam
h.
Juhud Taqnin Al Fiqh
Al Islami
i.
Al Fiqh Al Hanbali Al
Muyassar.
Mayoritas kitab menyangkut fikih dan
ushul fikih. Tetapi, ia juga menulis kitab tafsir sampai enam belas jilid:
a.
At Tafsir Al Wasith
tiga jilid
b.
Al I`jaz fi Al Qur’an
c.
Al Qishshah Al
Qur’aniyah
Hal ini menyebabkan Syaikh Wahbah juga
layak disebut sebagai ahli tafsir. Bahkan, ia juga menulis tentang akidah,
sejarah, pembaharuan pemikiran Islam, ekonomi, lingkungan hidup, dan bidang
lainnya. Jadi, Syaikh Wahbah bukan hanya seorang ulama fikih, tetapi juga ia
adalah seorang ulama dan pemikir Islam peringkat dunia.[2]
B.
METODE
PENAFSIRAN
Munurut
pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, setidaknya, dalam
penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili,
metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.
Metode
tafsir tahlili merupakan cara
menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang
terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan
surat-surat dan ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan
analisis di dalamnya.
Metode
tafsir Ijmali adalah cara menafsirkan Alquran menurut
susunan (urutan) bacaannya dengan suatu penafsiran ayat demi ayat secara
sederhana yang akan dapat dipahami orang-orang tertentu dan selainnya dengan
tujuan mendapatkan pemahaman dengan cara yang ringkas.
Metode
tafsir muqaran adalah tafsir yang
dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat Alquran yang memiliki
redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang
memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan atau juga
ayat-ayat Alquran yang selintas tampak berlawanan dengan hadis, padahal pada
hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.
Adapun metode
tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah
Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi
kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu
untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta
menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang
bersifat komprehensif.[3]
Sebenarnya, sulit untuk menetapkan metode yang mana digunakan
oleh Wahbah dalam tafsirnya ini. Di beberapa tempat, Wahbah menggunkan metode
tafsir tematik (maudhu`i), di sisi yang lain, ia menggunakan metode
perbandingan (muqaran), namun, dalam banyak kesempatan ia menggunakan
metode tafsir analitik (tahlili). Agaknya, metode yang terakhir, metode
analitik, lebih cocok, karena metode inilah yang lebih dominan digunakan oleh
Wahbah dalam tafsirnya.
Untuk langkah sistematika
pembahasan dalam tafsirnya ini, Wahbah, menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya,
sebagai berikut:
1.
Mengklasifikasikan ayat
Alquran – dengan urutan mushaf - yang ingin ditafsirkan dalam satu judul
pembahasan dan memberikan judul yang cocok.
2.
Menjelaskan kandungan
setiap surat secara global/umum.
3.
Menjelaskan sisi
kebahasaan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya.
4.
Menjelaskan sebab turun
ayat – jika ada sebab turunnya -, dan menjelaskan kisah-kisah sahih yang
berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan.
5.
Menjelaskan ayat-ayat
yang ditafsirkan dengan rinci.
6.
Mengeluarkan hukum-hukum
yang berkaitan dengan ayat yang sudah ditafsirkan.
C.
CORAK
PENAFSIRAN
Syaikh
Manna Al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits
Fii Ulum Al-Qur’an menyebutkan bahwa ada tiga corak penafsiran al-Qur’an,
yaitu tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi
ar-Ra’yi dan tafsir Isyari.
Tafsir bi al-Ma’tsur
ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih. Yaitu
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an dengan
Sunnah, perkataan Sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah,
atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in.
Tafsir bi ar-Ra’yi
adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya
berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun
didasarkan pada logikanya semata.
Menurut kaum sufi, riyahah ruhani atau
spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada
suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat
di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Limpahan kegaiban akan tercurah ke dalam
hatinya. Demikian juga pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Qur’an.
Itulah yang disebut tafsir Isyari.[5]
Dalam
menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini adalah Tafsir
al-Munir, yang diperhatikan adalah hal yang
dominan dalam tafsir tersebut. Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir
yang diajukan oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, tafsir ini lebih cocok
diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi ar-ra`yi.
D.
CONTOH
PENAFSIRAN
Dalam
pembahasan ini, penulis mengutip cuplikan Tafsir al-Munir, ketika
menafsirkan alif lam mim sebagai pendahuluan surat al-Baqarah.
Wahbah menjelaskan:
“Allah
mendahului surat ini dengan huruf muqaththa`ah sebagai pengingat terhadap sifat
Alquran, dan isyarat kemukjizatannya, sebagai tantangan terhadap orang yang
ingin membuat Alquran bahkan dengan surat yang terpendek sekalipun, sebagai
penetap yang pasti bahwa Alquran adalah firman Allah yang tidak ada sedikitpun
campur tangan manusia. Seolah-olah Allah berkata kepada orang Arab, “Bagaimana
bisa kamu lemah untuk menjadikan sepenggal surat yang semisalnya. Bukankah itu
juga bahasa Arab, yang terdiri dari huruf hijaiyah yang kamu kenal.
Tetapi kamu lemah untuk membuat semisalnya.” Ini adalah pendapat ulama
muhaqqiqin yang mengatakan bahwa peletakan huruf muqaththa`ah ini sebagai
penjelasan kemukjizatan Alquran, dan orang Arab lemah untuk meniru hal yang serupa,
padahal kata itu juga terdiri dari bahasa Arab yang mereka kenal.”
Setelah
itu, Wahbah menuliskan hadis Rasul Saw. yang menjelaskan, “Siapa yang
membaca satu huruf dari Alquran, maka untuknya satu kebaikan yang
dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan alif lam mim
satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR.
At-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas`ud). Hal ini menunjukkan bahwa,
walaupun alif lam mim,mungkin tidak memiki makna khusus, namun
Allah juga menetapkan pahala bagi orang yang membacanya.
Kemudian,
Wahbah menjelaskan tiga sifat Alquran: pertama, Alquran adalah
kitab yang sempurna, yang kandungannya – mulai dari makna, tujuan, kisah-kisah,
dan pensyariatan - tidak kurang sedikit pun. Kedua,
tidak ada keraguan pada Alquran sebagai firman Allah, tentunya bagi orang yang
menkajinya secara mendalam dan menggunakan mata hatinya. Ketiga,
Alquran adalah sumber hidayah dan petunjuk bagi orang yang beriman dan
bertakwa, yang takut dengan azab Allah, menjunjung tinggi perintah dan menjauhi
larangan Allah.[6]
E.
KOMENTAR
ULAMA
Banyak
komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitab Tafsir
al-Munir ini. Dalam Pengantar Penerjemah buku
biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah menjelaskan, “Tidaklah berlebihan
kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama paling produktif dalam
melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam
as-Suyuthi. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari kalangan akademisi
dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuhu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul
al-Fiqh, sehingga layak disamakan dengan
karya-karya al-Imam an-Nawawi. Prestasi dan keberhasilan yang langkah diraih
oleh siapa pun pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah SWT, serta
kesungguhan beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.”
Syaikh
Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat
memuji tafsir al-Munir ini, dia berkata, “Kitab ini sungguh sangat luar
biasa, sarat ilmu, disusun dengan metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya
seorang guru, sehingga setiap orang yang membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini
layak dibaca setiap kalangan, baik yang berilmu maupun orang awam. Mereka akan
mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak
perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.”
Tidak
hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini
terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995
M” dalam kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik
Islam Iran. Kitab ini juga disambut oleh berbagai negara dengan cara
menerjemahkannya dalam berbagai bahasa, seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan
menyusul Indonesia.[7]
F.
ANALISIS
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Banyak
sekali kelebihan tafsir ini, selain memiliki pengantar tafsir yang sangat
bermanfaat bagi setiap pembaca sebagai perbekalan ilmu untuk masuk dalam tafsir
Alquran. Pengantar itu berisikan seputar ilmu-ilmu Alquran, dari mulai
pengertian, sebab turun, kodifikasi, makkiyah madaniyah, rasm mushaf,
qiraat, i`jaz, sampai terjemahan Alquran.
Tafsir
ini mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami), karena bahasa yang
digunakan sangat sederhana, dan tidak seperti bahasa kitab-kitab klasik yang
terkadang memusingkan kepala. Selain itu, kitab ini disusun dengan sistematika
yang manarik, tidak amburadul, sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang
diingikannya, walaupun tidak membaca secara keseluruhan. Tafsir ini juga mengarahkan
pembaca pada tema pembahasan setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya, karena
tafsir ini membuat sub bahasan dengan tema yang sesuai dengan ayat yang
ditafsirkan. Selain mengaitkan ayat dengan ayat yang semakna, melalui munasabah
dan lain-lain, tafsir ini juga memudahkan bagi pembaca untuk mengambil
kesimpulan hukum atau hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
karena Wahbah sendiri, di penghujung pembahasan, menyimpulkan ayat yang
ditafsirkan dengan pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
Untuk
kelemahan, sulit untuk mencari kelemahan tafsir ini. Karena tafsir ini
adalah kumpulan dari buku-buku tafsir klasik dan kontemporer. Seolah-olah
pengarang menutup kekurangan yang ada dalam suatu tafsir dengan tafsir yang
lain, sehingga penafsirannya menjadi sempurna. Namun, satu hal yang mungkin
perlu disadari bahwa dengan menggabungkan tafsir-tafsir yang ada, seolah-olah
penulis tidak mengungkapkan suatu tafsiran baru yang sesuai dengan kehidupan
modern sekarang, dan ini adalah suatu kelemahan. Yang dilakukan oleh Wahbah
az-Zuhaily hanya mengutip dan melakukan sistematika pembahasan yang lebih rapi
dari tafsir-tafsir yang lain.[8]
IV.
PENUTUP
Dari
pembahasan di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan.
Pertama,
nama tafsir ini adalah at-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa
asy-Syari`ah wa al-Manhaj. Kitab ini dikarang oleh ulama kontemporer
benama Prof. Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaily, seorang ulama berasal dari
Syria, dan pernah “nyantri” di Al-Azhar University.
Kedua,
metode tafsir mencolok yang digunakan oleh Wahbah adalah metode tafsir
analitik/tahlili, dengan corak penggabungan antara tafsir bi
al-ma’tsur dengan tafsir bi ar-ra`yi.
Ketiga,
walau tafsir ini memiliki kelemahan, yakni seolah hanya mengutip dan jarang
sekali memberikan tafsiran baru yang sesuai dengan konteks kehidupan modern,
namun kelebihannya sangat dominan, dan berbekas di hati para pembacanya. Dengan
kelebihannya ini, seolah kelemahan dan kekurangannya tidak terlihat.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh
Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni
dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan VIII,
2013.
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, Jilid I, Damaskus: Daar
Al-Fikr, Cetakan X, 2009.
Muhammad Arifin Jahari
dalam sebuah artikel “Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan Tafsir Al-Munir” di http://studitafsir.blogspot.com/2012/12/prof-dr-wahbah-az-zuhailiy-dan-tafsir.html,
diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.
Shabra Syatila dalam
sebuah artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/,
diakses pada hari Senin, 17 Maret 2014.
[1]
Muhammad
Arifin Jahari dalam sebuah artikel “Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan Tafsir
Al-Munir” di http://studitafsir.blogspot.com/2012/12/prof-dr-wahbah-az-zuhailiy-dan-tafsir.html,
diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.
[2]
Shabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/,
diakses pada hari Senin, 17 Maret 2014.
[3]
Muhammad Arifin Jahari, loc. cit.
[4]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir,
Jilid I, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 2009), Cetakan X, h.8-14.
[5]
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii
Ulum Al-Qur’an,” (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cetakan VIII, h. 434-448.
[6]
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit. h. 75-80.
[7]
Muhammad Arifin Jahari. Loc.Cit.
[8]
Muhammad Arifin Jahari. Loc. Cit.