Monday 24 March 2014

Wahbah Az-Zuhaili dan Tafsir Al-Munir




Compiled by: ANDIKAMAULANA


I.                   PENDAHULUAN
 Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam al-Isra'iliyat wa al-Maudu'at fî Kutub at-Tafsir, menjelaskan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang paling mulia. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, objek kajian. Objek kajian ilmu tafsir adalah Alquran, firman Allah. Tidak ada ungkapan paling mulia, paling benar, dan penuh dengan hikmah dan petunjuk, kecuali Alquran yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Kedua, tujuan kajian. Tujuan ilmu tafsir adalah berpegang teguh pada tuntunan Allah, guna mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Ketiga, kebutuhan. Kesempurnaan agama dan duniawi butuh pada ilmu-ilmu syariat, dan sumber ilmu syariat adalah Alquran.
 Menurutnya lagi, tafsir sendiri bermakna ilmu yang membahas keadaan Alquran dari segi tujuan Allah (dalam ayat-ayat-Nya), dan dari segi kemukjizatannya, dengan kadar kemampuan manusia yang memahaminya.
Dari sini, tafsir adalah penjelasan Alquran. Alquran yang terkadang bersifat umum, susah dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih lanjut, supaya Alquran dapat dicerna oleh seluruh kalangan dan dijadikan rujukan dan panduan dalam kehidupan.
Banyak orang mencari dan bertanya tentang kitab tafsir yang paling baik penafsirannya, paling baik sistematika pembahasannya, dan paling baik dan mudah dimengerti bahasanya. Jika dilihat dalam tafsir-tafsir klasik, hal-hal ini susah didapati. Salah satu kitab tafsir dapat menjawab kebutuhan orang banyak ini, adalah Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj, Sebuah kitab tafsir kontemporer yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
a.       Latar Belakang Intelektual Penulis
b.      Motode Penafsiran
c.       Corak Penafsiran
d.      Contoh Tafsiran
e.       Komentar Ulama
f.       Analisis Kelebihan dan Kelemahan

III.             PEMBAHASAN
A.                LATAR BELAKANG INTELEKTUAL PENULIS
Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili adalah seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia. Pemikiran fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya yang berjudul Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh.
Wahbah Az  Zuhaili lahir di desa Dir `Athiah, Siria pada tahun 1932 M dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa Sa`dah.
Wahbah Az Zuhaili mulai belajar Al Quran dan sekolah ibtidaiyah di kampungnya. Ia menamatkan ibtidaiyah di Damaskus pada tahun 1946 M. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuliah Syar`iyah dan tamat pada 1952 M. Ia sangat suka belajar sehingga ketika pindah ke Kairo ia mengikuti kuliah di beberapa fakultas secara bersamaan, yaitu di Fakultas Syariah dan Fakultas Bahasa Arab di Universitas Al Azhar dan Fakultas Hukum Universitas `Ain Syams. Ia memperoleh ijazah sarjana syariah di Al Azhar dan juga memperoleh ijazah takhassus pengajaran bahasa Arab di Al Azhar pada tahun 1956 M. Kemudian ia memperoleh ijazah Licence (Lc) bidang hukum di Universitas `Ain Syams pada tahun 1957 M, Magister Syariah dari Fakultas Hukum Universitas Kairo pada tahun 1959 M dan Doktor pada tahun 1963 M.
Satu catatan penting bahwa, Syaikh Wahbah Az Zuhaili senantiasa menduduki ranking teratas pada semua jenjang pendidikannya. Menurutnya, rahasia kesuksesannya dalam belajar terletak pada kesungguhannya menekuni pelajaran dan menjauhkan diri dari segala hal yang mengganggu belajar.
Moto hidupnya adalah, “Inna sirra an-najah fi al-hayah ihsan ash-shilah billah `azza wa jalla”, (Sesungguhnya, rahasia kesuksesan dalam hidup adalah membaikkan hubungan dengan Allah `Azza wa jalla).
Ø  Karir Akademis
Setelah memperoleh ijazah Doktor, pekerjaan pertama Syaikh Wahbah Az Zuhailli adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963 M, kemudian menjadi asisten dosen pada tahun 1969 M dan menjadi profesor pada tahun 1975 M. Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya; pada Universitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Beliau juga pernah mengajar pada Universitas Emirat Arab.
Beliau juga menghadiri berbagai seminar internasional dan mempresentasikan makalah dalam berbagai forum ilmiah di negara-negara Arab termasuk di Malaysia dan Indonesia. Akan tetapi, di Medan belum pernah. Ia juga menjadi anggota tim redaksi berbagai jurnal dan majalah, dan staf ahli pada berbagai lembaga riset fikih dan peradaban Islam di Siria,Yordania, Arab Saudi,Sudan, India, dan Amerika.
Ø  Karya Ilmiah
Syaikh Wahbah Az Zuhaili sangat produktif menulis, mulai dari artikel dan makalah sampai kepada kitab besar yang terdiri atas enam belas jilid. Dr. Badi` As Sayyid Al Lahham dalam biografi Syaikh Wahbah yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah Az Zuhaili al -`Alim, Al Faqih, Al  Mufassir menyebutkan 199 karya tulis Syaikh Wahbah selain jurnal. Demikian produktifnya Syaikh Wahbah dalam menulis sehingga Dr. Badi` mengumpamakannya seperti Imam As Suyuthi (w. 1505 M) yang menulis 300 judul buku di masa lampau.
Di antara karyanya terpenting adalah:
a.      Al  Fiqh Al Islami wa Adillatuh,
b.      At Tafsir Al Munir
c.       Al Fiqh Al Islami fi uslubih Al Jadid
d.      Nazariyat Adh Dharurah Asy Syari`ah
e.       Ushul Al Fiqh Al Islami
f.       Az Zharai`ah fi As Siyasah Asy Syari`ah
g.      Al `Alaqat ad-Dualiyah fi Al Islam
h.      Juhud Taqnin Al Fiqh Al Islami
i.        Al Fiqh Al Hanbali Al Muyassar.
Mayoritas kitab menyangkut fikih dan ushul fikih. Tetapi, ia juga menulis kitab tafsir sampai enam belas jilid:
a.       At Tafsir Al Wasith tiga jilid
b.      Al I`jaz fi Al Qur’an
c.       Al Qishshah Al Qur’aniyah
Hal ini menyebabkan Syaikh Wahbah juga layak disebut sebagai ahli tafsir. Bahkan, ia juga menulis tentang akidah, sejarah, pembaharuan pemikiran Islam, ekonomi, lingkungan hidup, dan bidang lainnya. Jadi, Syaikh Wahbah bukan hanya seorang ulama fikih, tetapi juga ia adalah seorang ulama dan pemikir Islam peringkat dunia.[2]

B.                 METODE PENAFSIRAN
Munurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, setidaknya, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung  dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya.
Metode tafsir Ijmali adalah cara menafsirkan Alquran menurut susunan (urutan) bacaannya dengan suatu penafsiran ayat demi ayat secara sederhana yang akan dapat dipahami orang-orang tertentu dan selainnya dengan tujuan mendapatkan pemahaman dengan cara yang ringkas.
Metode tafsir muqaran adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat Alquran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan atau juga ayat-ayat Alquran yang selintas tampak berlawanan dengan hadis, padahal pada hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.
Adapun metode tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif.[3]
Sebenarnya, sulit  untuk menetapkan metode yang mana digunakan oleh Wahbah dalam tafsirnya ini. Di beberapa tempat, Wahbah menggunkan metode tafsir tematik (maudhu`i), di sisi yang lain, ia menggunakan metode perbandingan (muqaran), namun, dalam banyak kesempatan ia menggunakan metode tafsir analitik (tahlili). Agaknya, metode yang terakhir, metode analitik, lebih cocok, karena metode inilah yang lebih dominan digunakan oleh Wahbah dalam tafsirnya.
Untuk langkah sistematika pembahasan dalam tafsirnya ini, Wahbah, menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya, sebagai berikut:
1.      Mengklasifikasikan ayat Alquran – dengan urutan mushaf - yang ingin ditafsirkan dalam satu judul pembahasan dan memberikan judul yang cocok.
2.      Menjelaskan kandungan setiap surat secara global/umum.
3.      Menjelaskan sisi kebahasaan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya.
4.      Menjelaskan sebab turun ayat – jika ada sebab turunnya -, dan menjelaskan kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan.
5.      Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci.
6.      Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah ditafsirkan.
7.      Membahas kesusastraan dan i`rab ayat-ayat yang hendak ditafsirkan.[4]

C.                CORAK PENAFSIRAN
Syaikh Manna Al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an menyebutkan bahwa ada tiga corak penafsiran al-Qur’an, yaitu tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi ar-Ra’yi dan tafsir Isyari.
Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an dengan Sunnah, perkataan Sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in.
Tafsir bi ar-Ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya semata.
  Menurut kaum sufi, riyahah ruhani atau spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Limpahan kegaiban akan tercurah ke dalam hatinya. Demikian juga pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Qur’an. Itulah yang disebut tafsir Isyari.[5]
Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini adalah Tafsir al-Munir, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut. Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir yang diajukan oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, tafsir ini lebih cocok diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra`yi.

D.                CONTOH PENAFSIRAN
Dalam pembahasan ini, penulis mengutip cuplikan Tafsir al-Munir, ketika menafsirkan alif lam mim sebagai pendahuluan surat al-Baqarah. Wahbah menjelaskan:
“Allah mendahului surat ini dengan huruf muqaththa`ah sebagai pengingat terhadap sifat Alquran, dan isyarat kemukjizatannya, sebagai tantangan terhadap orang yang ingin membuat Alquran bahkan dengan surat yang terpendek sekalipun, sebagai penetap yang pasti bahwa Alquran adalah firman Allah yang tidak ada sedikitpun campur tangan manusia. Seolah-olah Allah berkata kepada orang Arab, “Bagaimana bisa kamu lemah untuk menjadikan sepenggal surat yang semisalnya. Bukankah itu juga bahasa Arab, yang terdiri dari huruf  hijaiyah yang kamu kenal. Tetapi kamu lemah untuk membuat semisalnya.” Ini adalah pendapat ulama muhaqqiqin yang mengatakan bahwa peletakan huruf muqaththa`ah ini sebagai penjelasan kemukjizatan Alquran, dan orang Arab lemah untuk meniru hal yang serupa, padahal kata itu juga terdiri dari bahasa Arab yang mereka kenal.”
Setelah itu, Wahbah menuliskan hadis Rasul Saw. yang menjelaskan, “Siapa yang membaca satu huruf dari Alquran, maka untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas`ud). Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun alif lam mim,mungkin tidak memiki makna khusus, namun Allah juga menetapkan pahala bagi orang yang membacanya.
Kemudian, Wahbah menjelaskan tiga sifat Alquran: pertama, Alquran adalah kitab yang sempurna, yang kandungannya – mulai dari makna, tujuan, kisah-kisah, dan pensyariatan - tidak kurang sedikit pun. Kedua, tidak ada keraguan pada Alquran sebagai firman Allah, tentunya bagi orang yang menkajinya secara mendalam dan menggunakan mata hatinya. Ketiga, Alquran adalah sumber hidayah dan petunjuk bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang takut dengan azab Allah, menjunjung tinggi perintah dan menjauhi larangan Allah.[6]

E.                 KOMENTAR ULAMA
Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitab Tafsir al-Munir ini. Dalam Pengantar Penerjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah menjelaskan, “Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam as-Suyuthi. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh, sehingga layak disamakan dengan karya-karya al-Imam an-Nawawi. Prestasi dan keberhasilan yang langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah SWT, serta kesungguhan beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.”
Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat memuji tafsir al-Munir ini, dia berkata, “Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan, baik yang berilmu maupun orang awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.”
Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995 M” dalam kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam Iran. Kitab ini juga disambut oleh berbagai negara dengan cara menerjemahkannya dalam berbagai bahasa, seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan menyusul Indonesia.[7]

F.                 ANALISIS KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Banyak sekali kelebihan tafsir ini, selain memiliki pengantar tafsir yang sangat bermanfaat bagi setiap pembaca sebagai perbekalan ilmu untuk masuk dalam tafsir Alquran. Pengantar itu berisikan seputar ilmu-ilmu Alquran, dari mulai pengertian, sebab turun, kodifikasi, makkiyah madaniyah, rasm mushaf, qiraat, i`jaz, sampai terjemahan Alquran.
Tafsir ini mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami), karena bahasa yang digunakan sangat sederhana, dan tidak seperti bahasa kitab-kitab klasik yang terkadang memusingkan kepala. Selain itu, kitab ini disusun dengan sistematika yang manarik, tidak amburadul, sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang diingikannya, walaupun tidak membaca secara keseluruhan. Tafsir ini juga mengarahkan pembaca pada tema pembahasan setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya, karena tafsir ini membuat sub bahasan dengan tema yang sesuai dengan ayat yang ditafsirkan. Selain mengaitkan ayat dengan ayat yang semakna, melalui munasabah dan lain-lain, tafsir ini juga memudahkan bagi pembaca untuk mengambil kesimpulan hukum atau hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena Wahbah sendiri, di penghujung pembahasan, menyimpulkan ayat yang ditafsirkan dengan pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
Untuk kelemahan, sulit untuk mencari kelemahan tafsir ini. Karena tafsir ini adalah kumpulan dari buku-buku tafsir klasik dan kontemporer. Seolah-olah pengarang menutup kekurangan yang ada dalam suatu tafsir dengan tafsir yang lain, sehingga penafsirannya menjadi sempurna. Namun, satu hal yang mungkin perlu disadari bahwa dengan menggabungkan tafsir-tafsir yang ada, seolah-olah penulis tidak mengungkapkan suatu tafsiran baru yang sesuai dengan kehidupan modern sekarang, dan ini adalah suatu kelemahan. Yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaily hanya mengutip dan melakukan sistematika pembahasan yang lebih rapi dari tafsir-tafsir yang lain.[8]

IV.             PENUTUP
Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan. 
Pertama, nama tafsir ini adalah at-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj. Kitab ini dikarang oleh ulama kontemporer benama Prof. Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaily, seorang ulama berasal dari Syria, dan pernah “nyantri” di Al-Azhar University.
Kedua, metode tafsir mencolok yang digunakan oleh Wahbah adalah metode tafsir analitik/tahlili, dengan corak penggabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi ar-ra`yi.
Ketiga, walau tafsir ini memiliki kelemahan, yakni seolah hanya mengutip dan jarang sekali memberikan tafsiran baru yang sesuai dengan konteks kehidupan modern, namun kelebihannya sangat dominan, dan berbekas di hati para pembacanya. Dengan kelebihannya ini, seolah kelemahan dan kekurangannya tidak terlihat.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan VIII, 2013.

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, Jilid I, Damaskus: Daar Al-Fikr, Cetakan X, 2009.

Muhammad Arifin Jahari dalam sebuah artikel “Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan Tafsir Al-Munir” di http://studitafsir.blogspot.com/2012/12/prof-dr-wahbah-az-zuhailiy-dan-tafsir.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.

Shabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada hari Senin, 17 Maret 2014.





[1] Muhammad Arifin Jahari dalam sebuah artikel “Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan Tafsir Al-Munir” di http://studitafsir.blogspot.com/2012/12/prof-dr-wahbah-az-zuhailiy-dan-tafsir.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.
[2] Shabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada hari Senin, 17 Maret 2014.
[3] Muhammad Arifin Jahari, loc. cit.
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid I, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 2009), Cetakan X, h.8-14.
[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cetakan VIII, h. 434-448.
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit. h. 75-80.
[7] Muhammad Arifin Jahari. Loc.Cit.  
[8] Muhammad Arifin Jahari. Loc. Cit. 

Az-Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kasysyaf



Compiled by: ANDIKAMAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Tafsir Al-Kasysyaf, siapa yang tidak mengenal tafsir fenomenal karya ulama Mu’tazilah Az-Zamakhsyari tersebut. Tafsir yang sangat kaya dengan gaya bahasa, yang menjadi rujukan semua ulama khususnya mengenai gramatika Arab. Tafsir yang menjadi kebanggan golongan Mu’tazilah, serta mendapatkan banyak pujian dari lawan maupun kawan. Belum ada seorang penafsir pun segiat Az-Zamakhsyari dalam menerangkan kemu’jizatan balaghah (al-I’jaz al-balaghi) atas susunan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun membuktikan bahwa fenomena sastra historis yang muncul dalam perhatian yang diberikan penduduk Timur terhadap seni bayan Arab ternyata lebih banyak daripada orang Barat. Bahkan orang Timur, berbeda dengan orang Barat, sangat memperhatikan tafsir Az-Zamakhsyari, karena semuanya itu dibangun atas seni ini, dan inilah sebenarnya pokoknya.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
A.    Biografi Az-Zamakhsyari
Ø  Az-Zamakhsyari
Ø  Intelektualitas dan Karyanya
Ø  Madzhab dan Akidahnya
B.     Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
C.     Model Tafsirnya
D.    Contoh Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 115
Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 23
Ø  QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23
E.     Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi Az-Zamakhsyari
Ø  Az-Zamakhsyari
Ia adalah Abu Al-Qasim Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, sebuah perkampungan besar di wilayah Khawarizm (Turkistan). Az-Zamakhsyari mulai belajar di negerinya sendiri. Kemudian melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra kepada Syaikh Mansur Abi Mudhar. Lalu pergi ke Makkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jar Allah (tetangga Allah). Di sana pula ia menulis tafsirnya, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil. Meninggal dunia pada 538 H. di Jurjaniah, Khawarizm, setelah kembali dari Makkah. Sebagian orang meratapinya dengan menggubah beberapa bait syair, antara lain, “Bumi Makkah pun meneteskan air mata dari kelopak matanya, karena sedih ditinggal Mahmud Jar Allah.”[2]

Ø  Intelektualitas dan Karyanya
Az-Zamakhsyari termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan. Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab Az-Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya “menurut Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf, atau “dalam Asas Al-Balaghah…” Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Di antara karyanya:
a.       Al-Kasysyaf (tentang tafsir)
b.      Al-Fa’iq (tentang tafsir hadits)
c.       Al-Minhaj (tentang ushul)
d.      Al-Musfashshal (tentang ilmu nahwu)
e.       Asas Al-Balaghah (tentang bahasa)
f.       Ru’us Al-Masa’il Al-Fiqhiyah (tentang fikih)[3]

Ø  Madzhab dan Akidahnya
Az-Zamakhsyari bermadzhab fikih Hanafi dan penganut teologi Mu’tazilah. Ia mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan teologinya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli. Ia menyebut kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.”[4]

B.     Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
Adalah Az-Zamakhsyari seorang ulama jenius yang sangat mumpuni dalam bidang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu nahwu diakui dan menjadi rujukan penting para pakar bahasa, karena dianggapnya kritis dan orisinil.
Dalam teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fikih bermadzhab Hanafi. Untuk mendukung “Mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab tafsirnya yang besar itu. Di samping itu kitab tersebut sebagai bukti akan kecerdasan, dan kepakarannya. Dalam pembelaannya terhadap madzhab itu, Ia mampu mengungkap isyarat-isyarat ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia berjasa menyingkap keindahan Al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya. Yang demikian karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, ilmu bayan, sastra, nahwu dan tashrif. Seba itulah Az-Zamakhsyari menjadi rujukan kebahasaan yang kaya. Di dalam mukaddimah tafsirnya, Ia mengindikasikan hal tersebut. Menurutnya orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir dan tidak akan dapat menyelami hakikatnya sedikitpun kecuali jika ia telah menguasai betul dua ilmu khusus Al-Qur’an; ilmu ma’ani dan ilmu bayan yang didorong oleh cita-cita luhur demi memahami kelembutan hujjah Allah, serta mu’jizat Rasul-Nya. Di samping itu semua, ia sudah memiliki bekal cukup dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain dan mampu melakukan dua hal; penelitian dan pemeliharaan, banyak menelaah, sering berlatih, lama merujuk dan akhirnya menjadi rujukan. Namun demikian ia tetap memiliki prilaku sederhana dan kreativitas yang mandiri.
Menurut Ibnu Khaldun, Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari tersebut, dalam hal bahasa, I’rab dan balaghahnya, termasuk di antara kitab tafsir paling baik. Hanya saja penulisannya termasuk pengikut fanatic aliran Mu’tazilah. Karena itu ia selalu memberikan argumentasi-argumentasi yang dapat membela madzhabnya yang menyimpang setiap kali menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi balaghahnya. Cara demikian bagi para peneliti Ahlusunnah dipandang sebagai penyimpangan. Sedang menurut jumhur merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan Al-Qur’an. Namun secara obyektif, mereka tetap mengakui kepakarannya dalam hal bahasa dan balagahahnya. Tetapi jika orang yang membacanya tetap berpijak pada madzhab Sunni dan menguasai hujjah-hujjahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Bagaimanapun kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasa yang disajikannya. [5]

C.    Model Tafsirnya
Tafsir al-Kasyaf, karya Az-Zamakhsyari ini merupakan sebuah kitab tafsir paling masyhur di antara sekian banyak tafsir yang ditulis dengan metodologi tafsir bi al-ra’yi, dan bahasa. Al-Alusi , Abu As-Su’ud, An-Nasafi dan para mufassir lain banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya.
Mu’tazilaisme dalam tafsirnya telah diungkap dan diteliti oleh Allamah Ahmad An-Nayyir. Lalu dituangkan dalam bukunya, Al-Intishaf. Dalam kitab itu An-Nayyir menyerang Az-Zamakhsyari dengan mendiskusikan pemikiran Mu’tazilah yang dikemukakannya. Ia mengemukakan pandangan berlawanan dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan yang ada dalam Al-Kasysyaf. Mustafa Husain Ahmad melalui Al-Maktabah At-Tijariah Mesir, telah menerbitkan tafsir Az-Zamakhsyari ini pada cetakan yang terbaru, dengan bebearapa empat buah buku sebagai lampiran:
1.      Al-Intishaf oleh An-Nayyir;
2.      Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani;
3.      Hasyiah tafsir Al-Kasysyaf, oleh Syaikh Muhammad Ulyan Al-Marzuq;
4.      Masyahid Al-Inshaf ala Syawahid Al-Kasysyaf, oleh Al-Marzuqi. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir Al-Kasysyaf, banyak mengandung faham Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat.[6] 

D.    Contoh Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø QS. Al-Baqarah Ayat 115
{ وَلِلَّهِ المشرق والمغرب } أي بلاد المشرق والمغرب والأرض كلها لله هو مالكها ومتوليها { فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ } ففي أي مكان فعلتم التولية ، يعني تولية وجوهكم شطر القبلة بدليل قوله تعالى : { فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } . { فَثَمَّ وَجْهُ الله } أي جهته التي أمر بها ورضيها . والمعنى أنكم إذا منعتم أن تصلوا في المسجد الحرام أو في بيت المقدس ، فقد جعلت لكم الأرض مسجداً فصلوا في أي بقعة شئتم من بقاعها ، وافعلوا التولية فيها فإن التولية ممكنة في كل مكان لا يختص [ إمكانها ] في مسجد دون مسجد ولا في مكان دون مكان { إِنَّ الله واسع } الرحمة يريد التوسعة على عباده والتيسير عليهم { عَلِيمٌ } بمصالحهم . وعن ابن عمر : نزلت في صلاة المسافر على الراحلة أينما توجهت . وعن عطاء : عميت القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة ، فلما أصبحوا تبينوا خطأهم فعذروا . وقيل : معناه ( فأينما تولوا ) للدعاء والذكر ولم يرد الصلاة . وقرأ الحسن : فأينما تَولوا ، بفتح التاء من التولي يريد : فأينما توجهوا القبلة.
Walillahi al-masyriqu wa al-maghribu menurut Az-Zamaksyari maksudnya adalah Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. Fainama tuwallu  maksudnya ke arah manapun manusia mengahadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah ayat 144, yang berbunyi :
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
Fatsamma wajhullahu  menurut Az-Zamaksyari maksudnya di tempat (Masjid al-Haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk mengahadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang Muslim akan melaksanakan shalat dengan menghadap Masjid al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kiblat ke arah manapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.
Menurut Ibnu Umar turunnya ayat ini berkenaan dengan shalat musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke mana kendaraannya menghadap. Akan tetapi menurut Atho’ ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Kemudian pagi harinya, ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa bolehnya menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam shalat.
Al-Hasan membaca ayat (فأينما تولوا) dengan memberi harokat fathah pada huruf ta’ sehinngga bacaannya menjadi tawallau karena menurutnya kata itu berasal dari tawalli, yang berarti ke arah mana saja kamu menghadap kiblat.[7]

Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 23
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[8]  satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Menurut Az-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mitslihi, adalah pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu kembali pada kata ma nazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan nabi Muhammad SAW.[9]

Ø  QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23 
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nadzirah (melihat), sebab menurut Mu’tzilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nadzirah diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengaharapkan).
Az-Zamakshyari juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat  mutasyabihat  pada  muhakkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat  muhakkamat  dan  mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat  muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat  mutasyabihat,  kemudian ditakwilkan agar sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nadzirah dicarikan maknanya yang sesuai dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu, mengharapkan).[10]

E.     Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
Dikalangan Ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal dalam mengungkapkan keindahan balaghahnya. Disamping memiliki kelebihan, tafsir al-Kasysyaf  juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut penilaian ulama terhadap tafsir al-Kasysyaf sebagai berikut :
1.      Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafsir yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir Az-Zamakhsyari, ia beropini: “Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir Az-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”. Hanya saja Az-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab Mu’tazilah.
2.      Haidar al-Harawi
Haidar menilai bahwa tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Kekurangan-kekurangan pada tafsir al-Kasysyaf  menurut Haidar, yaitu:
a.       Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikir lebih mendalam.
b.      Kurang menghormati ulama lain yang tidak sama golongannya. Sehingga Al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 54, menunjukkannya pada  penyusun al-Kasysyaf, karena Al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama.
c.       Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan yang jauh dari tuntunan syariat.
d.      Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan. Bahkan sering mengkafirkan mereka dengan sindiran-sindiran.
3.      Ibnu Khaldun
Ibnu Kaldun berpendapat bahwa tafsir diantara tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an  dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya adalah tafsir al-Kasysayaf.  Kekurangan tafsir Al-Kasysyaf menurut Ibnu Kaldun yaitu Dalam tafsir Az-Zamakhsyari sering membela madzhabnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
4.      Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Al-Sawi berpendapat bahwa Az-Zamakhsyari seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada madzhab Mu’tazilah.
5.      Ignaz Golziher
Dalam bukunya Madzahib tafsir al-Islam, Ignaz mengatakan bahwa tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.
  
6.      Muhammad Husain al-Zahabi
Beliau berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf  adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-quran.[11]

IV.             KESIMPULAN
V.                                         Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf  an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil  bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsir al-Kasysyafi disebutkan  sebagai berikut: ..... mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
VI.                                        Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud an-nasafi dan para mufassir lannya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ahmad an-Nayyir  yang dituangkan dalam bukunya al-Intishaf. Dalam kitab ini an-Nayyir  menyerang Az-Zamkhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah madzhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan masalah kebahasaan.
VII.                                        Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.

VIII.       DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh    Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan VIII, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. dari “Madzahib al-Tafsir al-Islami,” Yogyakarta: eLSAQ Press, Cetakan I, 2003.

Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid I, Beirut: Darul Fikr,  Cetakan I, 1977.

Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid IV, Beirut: Darul Fikr,  Cetakan I, 1977.
 
Mohammad Nabil Lazuardi dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di  http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014. 





[1] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. Dari “Madzahib al-Tafsir al-Islami,” (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), Cetakan I, h. 149-154.
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii ‘Ulum al-Qur’an,” (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cetakan VIII, h. 481.
[3] Ibid.
[4] Ibid. h. 481-482.
[5] Ibid. h. 459-460.
[6] Ibid. h. 482.
[7] Al-Qasim Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil,Jilid I, (Beirut: Darul Fikr, 1977), Cetakan I, h. 306-307.
[8] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al-Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastra dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
[9] Ibid. h. 238-246.
[10] Ibid. Jilid IV. h. 192.
[11] Mohammad Nabil Lazuardi dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di  http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.