Tuesday, 1 July 2014

ISLAM INKLUSIF GUS DUR

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sering disebut masyarakat majemuk (plural), disebabkan hampir semua agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu) terwakili di negara ini. Bersamaan dengan itu, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam aneka suku, etnis, budaya dan bahasa. Disamping itu bentuk Negara kepulauan, menyebabkan penghayatan dan pengalaman keagamaan bangsa Indonesia unik dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Fenomena semacam ini, disatu sisi merupakan modal dasar yang dapat memperkaya dinamika keagamaan yang positif, namun di pihak lain dapat menjadi kendala yang mengancam kelangsungan kita dalam beragama sekaligus berbangsa, tergantung kemampuan dan sikap kita terhadap keberagamaan itu. Pemerintah Orde Baru adalah salah satu contoh “salah urus” yang menimpa bangsa Indonesia, sehingga hasilnya berupa ancaman disintegrasi bangsa dan meledaknya kerusuhan yang dipicu persoalan SARA masih bisa dirasakan sampai sekarang ini.[1]
Konflik yang terjadi selama ini sebenarnya terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap budaya dan ajaran agama khususnya ajaran agama Islam bagi para penganutnya. Melihat berbagai konflik dan penyebabnya di Indonesia umat Islam sebagai umat Islam terbesar di Indonesia perlu memiliki pemahaman yang mendasar dan wawasan yang luas mengenai kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan yang ada. Dalam hal ini terdapat sebuah paradigma yang dikenal dengan paradigma pemikiran Islam inklusif. Secara umum pemikiran Islam inklusif ini adalah sebuah pemikiran yang bersifat terbuka. Inklusifisme Islam ini identik dengan sikap keterbukaan, toleransi dan semangat bekerja sama baik antar pemeluk agama Islam maupun dengan pemeluk agama lain. Salah satu tokoh besar yang menggagas hal ini adalah KH. Abdurrahman Wahid.[2]
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan konsep pemikiran Islam Inklusif yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid. Oleh karena itu, simaklah makalah kami berikut ini!
    
II.                POKOK PEMBAHASAN
a.       Biografi KH. Abdurrahman Wahid
b.      Faktor yang Mempengaruhi Eksklusivitas Umat Islam
c.       Pencerahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Arah Sikap Inklusif

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi KH. Abdurrahman Wahid
            Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

            Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

            Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.
Ø  Pendidikan
1.      1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
2.      1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
3.      1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
4.      1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab

Ø  Karir
1.      1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
2.      1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
3.      1980-1984 Katib Awwal PBNU
4.      1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
5.      1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
6.      1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
7.      1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
8.      1999-2001 Presiden Republik Indonesia
9.      2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
10.  2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
11.  2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia

Ø  Penghargaan
Ø  2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
Ø  2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
Ø  2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
Ø  2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
Ø  2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
Ø  2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
Ø  2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
Ø  2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
Ø  2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
Ø  2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
Ø  2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
Ø  2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
Ø  2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
Ø  2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
Ø  2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
Ø  2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Ø  2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
Ø  2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
Ø  2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
Ø  1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
Ø  1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
Ø  1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
Ø  1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
Ø  Doktor Kehormatan:
Ø  Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
Ø  Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
Ø  Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
Ø  Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
Ø  Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
Ø  Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
Ø  Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
Ø  Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
Ø  Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
Ø  Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)[3]

B.     Faktor yang Mempengaruhi Eksklusivitas Umat Islam
Akar atau landasan yang menjadi pijakan umat Islam untuk menjadi eksklusif adalah didasarkan pada beberapa faktor yang berlandaskan pada kesalahan dalam memahami nash sebagai berikut:
Pertama, umat Islam adalah umat yang paling unggul. Firman Allah: Kuntum khoira ummatin ukhrijat linnasi (kamu adalah sebaik-baik umat yang diturunkan untuk manusia
Kedua, dalil ya’lu wala yu’la alaihi, yang berarti bahwa Islam tinggi dan tidak ada yang paling tinggi.
Ketiga, penobatan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir dan penyempurna ajaran-ajaran nabi terdahulu.
Keempat, adanya dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam. “al-yauma akmaltu lakum dinakum (telah disempurnakan bagimu agamamu).”
Kelima, Doktrin kesyumulan ajaran Islam. Sebagian tokoh Islam seperti Al-Maududi menyebarkan pemikiran tentang syumuliatul Islam, yaitu doktrin tentang kesyumulan Islam yang mengatur segala hal mulai bangun tidur sampai tidur lagi yang diatur oleh Islam secara kaffah atau komprehensif.
Keenam, adanya ayat yang menerangkan bahwa Yahudi dan Nasrani itu tidak akan ridha terhadap Islam alias akan selalu memusuhi umat Islam, sehingga umat Islam harus defensive dan bila perlu memerangi.
Ketujuh, sikap minder di kalangan sebagian umat Islam dalam menghadapi arus perubahan yang dipelopori peradaban Barat dan dianggap sebagai musuh Islam yang akan menghancurkan keimanan dan akhlak generasi Islam.
Ketujuh factor diatas menjadi sebab lahirnya sikap eksklusif di kalangan sebagian umat Islam. Bahkan lebih dari itu, faktor tersebut juga mampu membentuk sikap umat Islam yang menutup diri dengan menganggap semua yang ada di luar Islam adalah thagut (ajaran setan).
Sikap umat Islam yang demikian ini menjadi keprihatinan Gus Dur. Karena disamping bersumber dari kesalahan dan kedangkalan memahami nash, juga karena hal itu bertentangan dengan realitas, di mana Nabi Muhammad Saw dengan seperangkat ajaran dan tradisinya adalah bersifat terbuka dan metropolis serta inklusif.[4]

C.    Pencerahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Arah Sikap Inklusif
Gus Dur membangun suatu wacana untuk memberi pencerahan agar umat Islam dapat memahami nash secara benar, sebagaimana ruh yang diajarkan oleh ajaran Islam. Sebagai contoh, dalam memahami dalil al-Islamu ya’lu wala yu’la alaihi. Dengan pemahaman sendiri, mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dan menyerukan sikap “mengunggulkan” Islam secara doktriner.
            Pendekatan doktriner seperti itu berarti pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain. Hal ini terjadi karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.
            Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menganggap orang atau peradaban loain sebagai salah. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum Muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahirlah semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk “mempertahankan Islam”. Akibatnya, lahirlah terorisme dan sikap radikal yang konon demi “kepentingan Islam”.
            Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Isla atau fiqih, bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idza ukhriju min diyarihim). Selain alasan tersebut, kita tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas, jelas mereka salah memahami Islam. Yang dipahami bahwa kaum Muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci Al-Qur’an dengan ungkapan, “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bima ladaihim farihun). Kalau sikap itu dicerca oleh Al-Qur’an sendiri, berarti juga dicerca oleh Rasulullah Saw.
            Jelaslah bahwa sikap Islam dalam hal ini adalah tidak menganggap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam berupaya mencari keunggulan orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunngulan itu, ada sebuah ungkapan yang berbunyi: “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (uthlubu al-ilma walau fi al-shin).” Bukankah hingga saat ini ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, kita diharuskan mencari ilmu kemana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju adalah hasil ikutab (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari-hari. Pengertian “longgar” seperti inilah yang dikehendaki kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum Muslimin dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena awal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangan Islam. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi.” Dari ayat ini, dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-Muslim. Namun, di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapa pun. Demikian apa yang diharapkan Gus Dur.
            Menurut Gus Dur, sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama, sehingga memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi, perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat “secara teknis” dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang “secara teknis” memiliki kegunaan bagi manusia yang diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya tersendiri. Peng-Islam-annya perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dimensi yang berbeda satu dari yang lain.[5]
              
IV.             KESIMPULAN
Dari paparan Gus Dur di atas, jelas memperlihatkan bahwa ada upaya pencerahan dan pembaruan pola pikir bagi umat Islam, agar tidak eksklusif dan dapat bersikap inklusif, sehingga dapat berinteraksi dan berperan besar dalam dinamika perubahan zaman.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Riyadi , M. Irfan & Basuki, Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, cet. I, 2009

Nurjanah, Nisa, skripsi “Pemikiran Islam Inklusif dalam Kehidupan Sosial Beragama dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid), Yogyakarta: UIN SUKA, 2013

Siwi P. Rahayu, dalam sebuah artikel “Abdurrahman Wahid”, diakses pada hari kamis, 12 Juni 2014, pukul 11.32, dari laman http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/.

Syarkun, Mukhlas, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (Gus Dur Seorang Mujaddid), Jilid 2, Jakarta:  PPPKI, 2013




[1] M. Irfan Riyadi & Basuki, Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), Cet. I, h. 1.
[2] Nisa Nurjanah, skripsi “Pemikiran Islam Inklusif dalam Kehidupan Sosial Beragama dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid), (Yogyakarta: UIN SUKA, 2013), h. vii.
[3] Siwi P. Rahayu, dalam sebuah artikel “Abdurrahman Wahid”, diakses pada hari kamis, 12 Juni 2014, pukul 11.32, dari laman http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/.
[4] Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (Gus Dur Seorang Mujaddid), Jilid 2, (Jakarta: PPPKI, 2013), h. 151-153.
[5] Ibid. h. 153-156.

Bolehkah Istri Minta Cerai ?

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian yang telah diikat oleh Allah antara seorang pria dengan seorang wanita. Sesudah melakukan akad, masing-masing disebut suami dan istri atau zauj dan zaujah.
Al-Qur’an menggambarkan kekuatan ikatan antara suami istri ini, dengan suatu lukisan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 sebagai berikut:
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Redaksi ini memberikan suatu pengertian bahwa seorang suami dan isteri saling melengkapi satu sama lain. Mereka seperti bangunan dimana jikalau hilang salah satu pondasi dari bangunan tersebut, niscaya bangunan itu akan roboh. Oleh karena itu, masing-masing suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang harus dijaga baik-baik.[1]
Suami dan istri, dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, pasti akan menemukan permasalahan-permasalan, entah permasalahan itu timbul dari suami maupun istri. Ketika masalah tersebut tidak menemukan jalan keluar, dan berpisah merupakan jalan terbaik bagi mereka, apakah istri tidak boleh meminta cerai?    Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang bagaimana menyikapi hal tersebut. Oleh karena itu, simaklah makalah kami berikut ini!
    
II.                POKOK PEMBAHASAN
A.    Teks Hadits Tentang “Perempuan Meminta Cerai Tidak Akan Mencium Bau Surga”
B.     Syarah Hadits Tentang “Perempuan Meminta Cerai Tidak Akan Mencium Bau Surga”

III.             PEMBAHASAN
A.    Teks Hadits Tentang “Perempuan Meminta Cerai Tidak Akan Mencium Bau Surga”

            Dari Tsauban RA, dari Nabi SAW bersabda:Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi Surga.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi serta ia meng-hasan-kannya, dan Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya).[2]

B.     Syarah Hadits Tentang “Perempuan Meminta Cerai Tidak Akan Mencium Bau Surga”
Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syar’i, yaitu segala yang dapat mengakibatkan keduanya sudah tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka haram bagi wanita tersebut mencium wangi surga.
Maksud dari kata-kata “haram bagi wanita tersebut mencium wangi surga” adalah Allah akan menjauhkan mereka dari sesuatu yang dapat mendekatkan mereka kepada surga.[3]
Rasulullah SAW bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi:

“Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.”[4]
Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW bersabda: “perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq.” (HR. Abu Dawud dll).[5]
Namun ketika seorang perempuan tersebut meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i, maka hal tersebut diperbolehkan.
Ibnu Abbas RA berkata: “Isteri Tsabit ibn Qais ibn Syammasy datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: “ Ya Rasulullah SAW, saya tidak mencela Tsabit, karena perangainya dan tidak pula karena agamanya. Tetapi saya tidak suka mengingkari kebajikan suami dan memnuhi haknya lantaran benci kepadanya di dalam Islam. Maka berkatalah Nabi SAW,: “ Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab: “Saya mau. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Terimalah kebunmu dan talaklah dia satu talak”. (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i).[6]
Hadits di atas menyatakan, bahwa khulu’ (membeli talak dari suami dengan sejumlah uang) adalah suatu dal yang dibolehkan. Dan menyatakan, bahwa ‘iddah perempuan yang berkhulu’ itu, adalah satu kali haid.
Khlulu’ ialah melepaskan atau menceraikan isteri dengan cara menerima sejumlah pembayaran dari isteri.
Seluruh ulama selain dari Bakr ibn Abdullah Al-Muzani, seorang ulama tabi’in menetapkan bahwasannya khulu’ dibenarkan oleh agama.
Hadits ini menyatakan, bahwasannya khulu’ sah dilakukan baik karena sikap suami, maupun karena sikap si isteri sendiri. Ibnu Mundzir tidak membolehkan khulu’ sebelum ada perselisihan yang terjadi antara suami isteri. Pendapat Ibnu Mundzir ini sesuai dengan pendapat Thawus, Asy-Sya’bi, dan segolongan Tabi’in.
Segolongan ulama berpendapat: bahwasannya syarat sahnya khulu’, ialah kedurhakaan isteri. Jumhur ulama, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, menetapkan bahwa syarat yang demikian tidak diperlukan. Sebagian ulama tidak membolehkan pembayaran khulu’ lebih banyak dari jumlah mas kawin.
Asy-Syafi’i dan Malik membolehkannya kalau khulu’ terjadi lantaran nusyuz si isteri. Jumhur ulama membolehkan tanpa syarat.
Atha’, Thawus,  Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama tidak membolehkan.
Perintah Nabi SAW kepada suami untuk menceraikan isteri yang dipandang tidak akan dapat hidup rukun dan damai lagi, menyatakan, bahwasannya hakim boleh menyuruh khulu’. Dengan memperhatikan hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini, dapatlah kita menetapkan bahwasannya khulu’ itu dibolehkan apabila timbul hal-hal yang menghendakinya.
Tidaklah diragui lagi bahwa apabila si isteri tidak menyenangi sikap suaminya, maka bolehlah ia meminta kepada suaminya supaya menjatuhkan talak dengan menerima sejumlah pembayaran dan suami boleh menerima pengembalian itu.[7]  
            Sedangkan alasan yang banyak dikemukakan oleh para wanita yang menuntut cerai dari suaminya pada zaman sekarang ini, datang dari hawa nafsunya sendiri. Karena kurangnya pemahaman terhadap agama dan tidak adanya rasa qana’ah (merasa puas) terhadap suami, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik di dalam rumah tangga. Dan seorang istri yang bertakwa kepada Allah Ta’ala, sekali-kali tidak akan meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at, meskipun orang tuanya memerintahkan hal itu kepadanya.
            Karena suami memiliki hak yang lebih besar atas dirinya melebihi orang tuanya sendiri. Dengan demikian, apabila wanita tersebut lebih memilih untuk mengabulkan keinginan kedua orang tuanya dan merelakan kehancuran rumah tangganya, maka dia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

IV.             KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
setiap wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syar’i, yaitu segala yang dapat mengakibatkan keduanya sudah tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka haram bagi wanita tersebut mencium wangi surga.
Namun ketika seorang perempuan tersebut meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i, maka hal tersebut diperbolehkan.
Tidaklah diragui lagi bahwa apabila si isteri tidak menyenangi sikap suaminya, maka bolehlah ia meminta kepada suaminya supaya menjatuhkan talak dengan menerima sejumlah pembayaran dan suami boleh menerima pengembalian itu

V.                DAFTAR PUSTAKA
Al-Mundziri , Abdul Adhzim bin Abdil Qawi, At-Targhib wa At-Tarhib Min Al-Hadits Asy-Syarif, ttt, Dar Al-Fikr, tt

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad hasbi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 4, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011.

Qardhawi, Muhammad Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy dari “ Al-Halal wa Al-Haram Fii Al-Islam”, ttt, pt. bina ilmu, tt.




[1] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy dari “ Al-Halal wa Al-Haram Fii Al-Islam”, (ttt, pt. bina ilmu, tt), h. 277.
[2] Abdul Adhzim bin Abdil Qawi Al-Mundziri, At-Targhib wa At-Tarhib Min Al-Hadits Asy-Syarif, (ttt, Dar Al-Fikr, tt), h. 83-84.
[3] Ibid, h. 84.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Teungku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 4, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), h. 185.
[7] Ibid. h. 186-187.