Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Pada
masa awal Islam, kenabian Muhammad SAW selain berfungsi sebagai penyampai
firman Tuhan, juga sekaligus menjadi penafsir yang otoritatif terhadap
Al-Qur’an dengan Hadits sebagai bentuk formalnya. Ketika muncul persoalan
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an pada masa itu, langsung ditanyakan
kepada Nabi SAW. Atau, kalaupun ada sahabat yang turut serta menafsirkan,
tafsir yang dihasilkannya harus mendapat cap
Justified dari Nabi sebelumnya agar bisa operasional.
Sementara
itu, kesadaran keagamaan kaum muslimin awal ketika itu masih kental dengan
argumen-argumen dogmatis. Ketika muncul persoalan pemahaman Al-Qur’an,
misalnya, hampir semuanya dikembalikan pada keyakinan adanya pelajaran (ibrah)
atau hikmah yang diselipkan Allah dalam ayat-ayat tersebut. Ini membuktikan
bahwa corak hermeneutk dalam memahami Al-Qur’an masih sering diliputi argumen
dogmatis daripada penalaran kritis.
Baru
kemudian setelah Nabi dan sahabat, sedikit demi sedikit persoalan hermeneutis
mengemuka. Ini terkait dengan kebutuhan mendapatkan jawaban atas berbagai
problem aktual yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya.
Oleh
karena itu, pada makalah ini, pemakalah akan menguraikan pembaharuan pemikiran
yang digagas oleh Fazlur Rahman dalam hukum Islam, khususnya mengenai hukum
Poligami.
II.
POKOK
PEMBAHASAN
A. QS.
An-Nisa’ (4): 3 dan Terjemahannya
B. Tafsir
QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Jumhur Ulama
C. Tafsir
QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Fazlur Rahman
III.
PEMBAHASAN
A.
QS.
An-Nisa’ (4): 3 dan Terjemahannya
SDan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[1],
Maka (kawinilah) seorang saja[2],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
B.
Tafsir
QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Jumhur Ulama
Imam
Syafi’i mengatakan, di dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 tampak jelas bahwa – yang
diseur oleh ayat ini adalah kaum laki-laki merdeka. Hal itu didasarkan pada
firman Allah SWT, “Maka (nikahilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki.” Sebab, hanya oran-orang
merdeka saja yang memiliki budak. Sementara firman-Nya, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sebab, hanya orang yang memiliki banyak harta yang berbuat aniaya, sedang budak
tidak memiliki harta.[3]
Imam
Syafi’i juga mengungkapkan,
Malik
memberi tahu kami, dari Ibnu Syihab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada
seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang masuk Islam dalam keadaan memiliki
sepuluh orang istri:
“Pertahankan empat orang dan ceraikanlah yang
lainnya.”
Ats-Tsiqqah
bin ‘Ulayyah atau yang lainnya member tahu kami, dari Ma’mar, dari Ibnu Syihab,
dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah telah memeluk Islam dalam
keadaan memiliki sepuluh orang istri. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya:
“Pertahankan
empat orang (istri) dan ceraikan atau tinggalkan yang lainnya.”
Imam
Syafi’i mengatakan, “Dengan demikian, Sunah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa
Allah SWT telah membatasi pernikahan hanya dengan empat orang istri saja dan
mengharamkan tindakan suami yang memadu lebih dari empat orang istri. Selain
itu, Sunah Rasulullah SAW juga menunjukkan adanya hak pilih – bagi orang yang
memiliki lebih dari empat orang istri – untuk memilih istri paling tua maupun
yang paling muda, baik yang akadnya sekaligus maupun yang akadnya
sendiri-sendiri, karena Allah SWT memaafkan mereka perihal akad yang sudah
terlanjur dilakukan.”
Tidakkah
Anda memperhatikan bahwa Nabi SAW tidak pernah menanyakan Ghailan tentang siapa
saja di antara istri-istrinya yang pertama dinikahinya. Kemudian, sewaktu dia
dan para istrinya memeluk islam, beliau mempersilakan kepadanya untuk tetap
memperistri empat orang diantara mereka tanpa memberi persyaratan, istri-istri
yang paling lebih dulu dia nikahi.
Tidakkah Anda juga memperhatikan bahwa Naufal
bin Mu’awiyah memberi tahu bahwa dia telah menceraikan istri-istri yang
terlebih dulu dinikahinya. Hal itu menunjukkan bahwa akad nikah yang dilakukan
pada masa jahiliah tetap sah, apalagi pada masa Islam.[4]
Demikianlah
pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, dan pendapat tersebut dianut oleh
para pengikut mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama.
C.
Tafsir
QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Fazlur Rahman
Poligami
adalah persoalan di dalam hukum keluarga. Mayoritas ulama secara umum meyakini
bahwa praktik beristri lebih dari satu dibolehkan dalam Islam. Ini
dijustifikasi Al-Qur’an, bahkan diberi toleransi sampai empat istri.
Pandangan
ini bagi Fazlur Rahman mereduksi keinginan Al-Qur’an itu sendiri. Yang
diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktik beristri banyak. Praktik ini
tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status
wanita yang selama ini cenderung disubordinasikan sebagai manusia nomor dua
akan menjadi semakin kuat jika praktik poligami tetap diberlakukan.
Al-Qur’an
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama.
Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang
hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang
diajukan oleh Al-Qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga. Syarat
ini dalam asumsi Rahman sebenarnya merupakan indikasi kiasan untuk
menggambarkan bahwa betapa laki-laki tidak sanggup melakukannya: memperlakukan
istri-istrinya secara sama di hadapan suami.
Ayat
Al-Qur’an yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami
adalah:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (QS. An-Nisa’ (4): 3)
Untuk
memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan.
Masalah ini muncul sebenarnya berkait dengan para gadis yatim. Dalam ayat
sebelumnya (QS. An-Nisa’ (4): 2) dikatakan:
Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.
Al-Qur’an
melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Tema seperti ini sudah
disampaikan Al-Qur’an sejak di Makkah (QS. Al-An’am (6): 152; Al-Isra’ (17):
34) dan ditehaskan lagi ketika di Madinah (QS. Al-Baqarah (2): 220), 6, 10, dan
127). Setelah penekanan tidak dibenarkannya memakan harta para gadis yatim,
Al-Qur’an kemudian membolehkan wanita para wali untuk mengawini mereka sampai
empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh
ulama dalam hal ini, yaitu:
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (QS.
An-Nisa’ (4): 129).
“Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS.
An-Nisa’ (4): 3).
Dari
ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil
dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya.
Dalam kasus ini, “Klausa tentang berlaku adil harus mendapat perhatian dan
niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang
membolehkan poligami. Tuntunan untuk berlaku adil dan wajar adalah salah satu
tuntutan dasar keseluruhan ajaran Al-Qur’an.
Jadi,
pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami. Ia justru memerintahkan
sebaliknya, monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an.[5]
IV.
KESIMPULAN
Kalau selama ini hukum Islam telah
membenarkan praktik ini, menurut Rahman, hanya menunggu waktu yang tepat untuk
menghapusnya. Ini tergantung pada kondisi sosial yang siap untuk menerimanya.
Bukankah kehadiran pesan-pesan Al-Qur’an pada umumnya juga mengiringi tradisi
dan budaya masyarakat di zamannya? Al-Qur’an menerima ketentuan hukum untuk
beristri lebih dari satu (dua, tiga, atau empat) karena ketidakmungkinan
menghapus praktik poligami seketika itu juga, mengingat praktik poligami jauh
sebelum Islam datang sudah dikenal dan menjadi tradisi di kalangan masyarakat
Arab. Praktik ini terus dipelihara hingga Al-Qur’an datang, seolah membenarkan
praktik tersebut. Padahal, yang dipesankan secara sejati oleh Al-Qur’an tidak
lain adalah monogami. Hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak,
laki-laki dan perempuan.
Menurut Rahman, ideal moral Al-Qur’an
harus berkompromi dengan kondisi aktual masyarakat Arab pada abad ke-7, ketika
poligami berakar kuat dalam masyarakat, sehingga secara legal tidak bisa
dicabut seketika sebab justru akan menghancurkan ideal moral itu sendiri.
Dengan demikian, konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan Al-Qur’an adalah
bahwa dalam situasi yang normal poligami dilarang. Namun, sebagai lembaga yang
sudah terlanjur ada, poligami diakui secara hukum, dengan pertimbangan bahwa
jika lingkungan sosial telah memungkinkan poligami akan dilarang. Menurut
Rahman, ini diandaikan terjadi karena tidak seorang pun pembaharu, bila mau
berhasil, dapat mengabaikan situasi riil di lapangan dan semata mengeluarkan
pernyataan-pernyataan visioner. Celakanya, ini tidak dipahami oleh generasi
Muslim yang datang belakangan, dan faktanya menggagalkan tujuan dasar (ideal
moral) yang terkandung di dalamnya.[6]
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Farran, Ahmad
Musthafa, Tafsir Imam Syafi’i,
diterjemahkan oleh Fedrian Hasmand, dkk., dari “Tafsir al-Imam asy-Syafi’i”,
Jilid II, Jakarta: Almahira, cetakan 1, 2008.
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta:
Jalasutra, Cet. 1. 2007.
[1] Berlaku adil
ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[2] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[3] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, diterjemahkan oleh Fedrian
Hasmand, dkk., dari “Tafsir al-Imam asy Syafi’I”, Jilid II, (Jakarta: Penerbit
Almahira, 2008), Cet. 1, h. 3-4.
[4] Ibid. h. 5-6.
[5] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra,
2007), Cet. 1, h. 75-77.
[6] Ibid. h. 77-78.