Sunday, 3 November 2013

HADITS TENTANG TINGKAH LAKU TERCELA


Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.    PENDAHULUAN
            Duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan sambil nongkrong, mengobrol atau makan dan minum sudah menjadi kebiasaan hampir mayoritas penduduk di negeri ini. Siapapun pasti senang melakukannya, baik dengan sengaja atau tidak.
Dibalik kebiasaan ini, mereka lupa bahwa apa yang mereka lakukan itu mengganggu pengguna jalan yang berlalu lalang di sana, padahal Dinul Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini telah menyinggung hal itu sejak dulu.

Islam, sebagai dien yang amat toleran dan inklusif tetapi tetap kuat memegang prinsip, tidak serta merta melarang hal itu. Ia mengambil sikap yang transparan dan selalu membawa solusi bagi problematika kehidupan di dunia ini dalam segala aspeknya.

Diantara sikap transparan dan solutif itu adalah dengan tidak melarangnya seratus persen dan mengikis habis kebiasaan itu, tetapi memberikan solusi yang terbaik sehingga kebiasaan itu dapat dihilangkan secara bertahap, yaitu dengan memperkenalkan kepada mereka hak yang terkait dengan jalan tersebut. Hak tersebut dalam terminologi kekinian dapat dikatakan sebagai kode etik, dimana harus diketahui dan dipatuhi oleh para penggunanya.

Mengenai bagaimana sesungguhnya realitas yang dulu dialami oleh para shahabat dan apa solusi Islam bagi para pengguna jalan, maka kajian kali ini ingin mengupas masalah tersebut.

Harapan kami, kajian ini dapat menggugah kita semua yang tentunya pasti termasuk pengguna jalan juga, bahkan barangkali memiliki kebiasaan yang kurang baik tersebut dulunya dan belum mengetahui kode etik yang terkait dengannya.

Dalam makalah ini juga, Insya Allah kami akan membahas prilaku-prilaku tercela lainnya seperti buruk sangka, dengki, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), ghibah dan fitnah.

Untuk itu, semoga kajian ini bermanfaat dan sebagaimana biasa bila terdapat kesalahan dan kekeliruan, kiranya sudi memberikan masukan yang positif dan membangun guna perbaikan lebih lanjut.

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.                  Larangan Buruk Sangka
2.                  Larangan Duduk-duduk di Jalan dan Pentingnya Menjaga Etika di Jalan
3.                  Larangan Ghibah (Ngegosip) dan Buhthan (Fitnah)

PEMBAHASAN
1.      Larangan Buruk Sangka
            (BUKHARI - 5604) : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta, Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain (tahassus), janganlah saling memata-matai (tajassus), saling mendengki, saling membelakangi, serta saling membenci, tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara."
            Rasulullah senantiasa memberi peringatan kepada umatnya dari perkara-perkara yang mendatangkan kemudharatan atau menimbulkan keretakan ukhuwah islamiyah antara kaum muslimin. Dalam hadits tersebut, Nabi  mewaspadai umatnya dari sifat buruk sangka terhadap saudaranya karena hal ini akan membawa kerusakan bagi mereka.
Adapun prasangka yang dicela dan dilarang dalam hadits di atas adalah prasangka semata tanpa ada faktor penguat atau qorinah (alasan) tertentu. Beliau  menyatakan bahwa hal ini adalah sedusta-dustanya berita, karena ketika seseorang mulai berprasangka buruk, maka jiwanya berkata kepadanya ‘si fulan berkata demikian, si fulan melakukan hal itu, dia ingin berbuat demikian dan seterusnya’, hal ini Rasulullah namakan dengan sedusta-dustanya pembicaraan.
Kandungan hadits ini mirip dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujuraat (49) : 12 : 
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujuraat (49) : 12)
Akan tetapi dalam ayat tersebut Allah berfirman “sebagian dari pra-sangka itu adalah dosa”, Allah tidak berfirman semua prasangka, karena prasangka yang bersandar pada bukti dan penguat tidaklah mengapa.[1]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Allah SWT berfirman melarang hamba-hamba-Nya yang beriman berprasangka yang bukan pada tempatnya terhadap keluarganya, familinya dan terhadap orang lain pun, karena sebagian dari prasangka itu merupakan perbuatan yang membawa dosa dan janganlah kamu mengintai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Allah memperumpamakan orang yang menggunjing sesama saudaranya yang mukmin, seperti seorang yang memakan daging saudara yang telah mati. Tentu tak seorang pun di antara kamu suka berbuat demikian. Maka bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat lagi Maha Penyanyang.”[2]
Diriwayatkan oleh Abu Ya’ala dari Barra’ bin ‘Aazib, bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu khotbahnya :
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, janganlah kamu menggunjingi orang-orang Islam dan janganlah kamu mencari-cari aurat-uarat (hal yang dirahasiakan) mereka, karena barang siapa mencari-cari aurat saudaranya, Allah akan mencari auratnya dan siapa yang dicari auratnya oleh Allah pasti akan terbukalah auratnya itu walaupun ia ditengah-tengah rumahnya.”[3]
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah mengatakan, “Ayat diatas (QS. Al-Hujuraat (49) : 12) menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan buruk yang tanpa dasar, karena ia dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap-hal-hal yang baru bersifat prasangka. Dengan demikian ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa : Tersangka belum dinyatakan bersalah sebelum terbukti kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadanya. Memang bisikan-biskan yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal bisikan tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. Dalam konteks ini Rasul SAW berpesan :”Jika kamu menduga (yakni terlintas dalam benak kamu sesuatu yang buruk terhadap orang lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh.” (HR. Ath-Thabarani)
Kata tajassasu terambil dari kata jassa, yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai jasus. Imam Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.[4]
Dalam hadits diatas juga Rasul SAW melarang kita untuk saling mendengki. Dengki adalah mengharapkan hilangnya kebahagiaan atau kenikmatan dari orang yang didengki. Sifat ini merupakan salah satu perbuatan yang dikategorikan dosa besar.
Marilah kita bayangkan apabila penyakit dengki telah merambah ke setiap orang. Maka mereka akan saling berusaha untuk menghilangkan kenikmatan atau kebahagiaan  yang diperoleh orang lain. Setiap orang yang mendapat kenikmatan atau kebahagiaan tidak akan selamat dari kejahatan orang lain yang dengki atas dirinya. Apabila demikian, bagaimana kehidupan manusia pada saat itu ?[5]
Dengan begitu, dapat disepakati bahwa penyakit dengki dapat menghancurkan keharmonisan kehidupan manusia, selain itu juga dapat menghancurkan kebahagiaan seseorang atau memecah suatu kelompok. Lihatlah bagaimana penyakit dengki telah merusak hati para pendeta-pendeta sehingga menolak kebenaran yang mereka ketahui dan yakini, maka penyakit ini pun akan dapat menghancurkan umat ini.[6]
Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura (42) : 14 :
“Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka[7]. kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil)[8] sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu.”
Dalam hadits diatas juga disebutkan bahwa sesama muslim dilarang saling membelakangi, saling memusuhi. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga hubungan baik antar manusia, sehingga segala sesuatu yang meretakkan hubungan baik tersebut, Islam pasti melarangnya.
Dan diakhir redaksi hadits diatas kita diperintahkan untuk menjadi hamba Allah yang bersaudara. Artinya muslim yang satu dengan yang lainnya saudara. Sehingga tidak sepantasnya berburuk sangka, saling memata-matai, saling dengki, saling membelakangi, saling memusuhi sesama muslim.

2.      Larangan Duduk-duduk di Jalan dan Pentingnya Menjaga Etika di Jalan[9]
            (BUKHARI - 2285) : Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami Abu 'Umar Hafsh bin Maisarah dari Zaid bin Aslam dari 'Atha' bin Yasar dari Abu Sa'id AL Khudriy radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan". Mereka bertanya: "Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama". Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahiy munkar".

Penjelasan Kebahasaan
1.      Ungkapan beliau: “mâ lanâ min majâlisinâ buddun” (kami tidak punya (pilihan) tempat duduk-duduk)  maksudnya adalah kami membutuhkan untuk duduk-duduk di tempat-tempat seperti ini, karena adanya faedah yang kami dapatkan.

2.      Ungkapan beliau : “fa a’thû ath-tharîqa haqqahu” [berilah jalan tersebut haknya] maksudnya adalah bila kalian memang harus duduk di jalan tersebut, maka hendaklah kalian memperhatikan etika yang berkaitan dengan duduk-duduk di jalan dan kode etiknya yang wajib dipatuhi oleh kalian.
3.      Ungkapan beliau : “ghadl-dlul bashar” [memicingkan pandangan] maksudnya adalah mencegahnya dari hal yang tidak halal dilihat olehnya.
4.      Ungkapan beliau : “kufful adza” [mencegah (adanya) gangguan] maksudnya adalah mencegah adanya gangguan terhadap pejalan atau orang-orang yang lewat disana, baik berupa perkataan ataupun perbuatan seperti mempersempit jalan mereka, mengejek mereka dan sebagainya.

Sekilas Tentang Periwayat Hadits
Beliau adalah seorang shahabat yang agung, Abu Sa’îd, Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khazrajiy al-Anshâriy al-Khudriy. Kata terakhir ini dinisbatkan kepada Khudrah, yaitu sebuah perkampungan kaum Anshâr.
Ayah beliau mati syahid pada perang Uhud. Beliau ikut dalam perang Khandaq dan dalam Bai’atur Ridlwân. Meriwayatkan dari Nabi sebanyak 1170 hadits. Beliau termasuk ahli fiqih juga ahli ijtihad kalangan shahabat dan wafat pada tahun 74 H.

Faedah-Faedah Hadits & Hukum-Hukum Terkait
1.      Diantara tujuan agama kita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Islam kepada hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq dan keluhuran etika. Sebaliknya, menjauhkan seluruh elemennya dari setiap budi pekerti yang jelek dan pekerjaan yang hina. Islam juga menginginkan terciptanya masyarakat yang diliputi oleh rasa cinta dan damai serta mengikat mereka dengan rasa persaudaraan (ukhuwah) dan kecintaan.
2.      Hadits diatas menunjukkan kesempurnaan Dinul Islam dalam syari’at, akhlaq, etika, menjaga hak orang lain serta dalam seluruh aspek kehidupan. Ini merupakan tasyr’i yang tidak ada duanya dalam agama atau aliran manapun.
3.      Asal hukum terhadap hal yang berkenaan dengan “jalan” dan tempat-tempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk, karena implikasinya besar, diantaranya:
a.       Menimbulkan fitnah,
b.      Mengganggu orang lain baik dengan cacian, kerlingan ataupun julukan,
c.       Mengintip urusan pribadi orang lain,
d.      Membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
4.      Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits diatas memaparkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
1.      Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal yang haram; sebab “jalan” juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap situasi dan kondisi. Allah berfirman:“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S. 24/an-Nûr:30).
2.      Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil seperti menyakitinya dengan ucapan yang tak layak; cacian, makian, ghibah, ejekan dan sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut; bermain bola di halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang pengganggu bagi tuannya, dan lainnya.
3.      Menjawab salam; para ulama secara ijma’ menyepakati wajibnya menjawab salam. Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah pernghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”. (Q.S. 4/an-Nisa’: 86).
Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa hukum memulai salam adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah ucapan hormat kaum muslimin yang berisi doa keselamatan, rahmat dan keberkahan.
4.      Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar ; ini merupakan hak peringkat keempat dalam hadits diatas dan secara khusus disinggung disini karena jalan dan semisalnya merupakan sasaran kemungkinan terjadinya banyak kemungkaran.
Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun as-Sunnah yang menyentuh prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah Ta’ala: “dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar…”. (Q.S. 3/Âli ‘Imrân: 104).
Dalam hadits Nabi, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya; yang demikian itulah selemah-lemah iman”.
Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, diantaranya:
a.  Berbicara dengan baik,
b. Menjawab orang yang bersin (orang yang bersin harus mengucapkan alhamdulillâh sedangkan orang yang menjawabnya adalah dengan mengucapkan kepadanya yarhamukallâh),
c.  Membantu orang yang mengharapkan bantuan,
d.                         Menolong orang yang lemah,
e.  Menunjuki jalan bagi orang yang sesat di jalan,
f.  Memberi petunjuk kepada orang yang dilanda kebingungan,
g. Mengembalikan kezhaliman orang yang zhalim, yaitu dengan cara mencegahnya.

3.      Larangan Ghibah (Ngegosip) dan Buhthan (Fitnah)
(MUSLIM - 4690) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Al A'laa dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab; 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.' Seseorang bertanya; 'Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.'
            Pembahasan masalah ini panjang sekali. Oleh karena itu, pertama sekali kami akan menyebutkan tentang tercelanya menggunjing dan dalil-dalil syara’ yang menjelaskannya. Allah SWT menjelaskan celaan ghibah ini dalam al-Qur’an dan Allah menyamakan pelakunya seperti orang yang makan bangkai. Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujuraat: 12:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
            Nabi SAW bersabda : “Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya bagi muslim yang lain” (HR. Muslim)[10]
M. Quraish Shihab dalam menafsirkan QS. Al-Hujurat ayat 12, berkata: kata yaghtab terambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib yakni tidak hadir. Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang disebut itu tidak disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamai buhthan/ kebohongan besar. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh penggunjing tadi memang disandang oleh objek ghibah, ia tetap terlarang. Memang, pakar-pakar hukum membenarkan ghibah untuk sekian banyak alasan antara lain:
1.      Meminta fatwa, yakni seseorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus tertentu dengan member contoh. Ini seperti halnya seseorang wanita yang bernama Hind meminta fatwa Nabi menyangkut suaminya yakni Abu Sufyan dengan menyebut kekikirannya. Yakni apakah sang istri boleh mengambil uang suaminya tana sepengetahuan sang suami?
2.      Menyebut keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan keburukannya dihadapan dihadapan umum. Seperti menyebut si A adalah Pemabuk, karena memang dia sering minum di hadapan umum dan mabuk.
3.      Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran.
4.      Menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan, misalnya dalam konteks menerima lamarannya.
5.      Memperkenalkan seseorang yang tidak dapat dikenal kecuali dengan menyebut aib/kekurangannya. Misalnya “Si A yang buta sebelah itu”.[11]
Untuk mengakhiri penjelasan tentang larangan Ghibah dan Fitnah ini, ada baiknya pemakalah akan mengutipkan beberapa ungkapan yang bisa kita renungkan, sehingga kita tidak berbuat Ghibah dan Fitnah, sbb:
Ibnu Abbas berkata: “apabila kamu ingin menyebut aib (kekurangan) saudaramu maka ingatlah kekuranganmu.” Abu Hurairah berkata, “Salah seorang di antara kamu melihat ada kotoran di mata saudaranya, tetapi ia tidak melihat kekurangan di matanya sendiri.”
Al-Hasan bertutur, “Wahai manusia, sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan hakikat keimanan sampai kamu meninggalkan perbuatan mencari kekurangan orang lain yang  juga ada pada dirimu sendiri dan sampai kamu memulai untuk memperbaiki (kekurangan) itu lalu memperbaiki kekurangan yang ada pada dirimu. Jika itu kamu lakukan maka kamu telah sibuk dengan dirimu sendiri dan orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang seperti itu.”
Umar RA berkata, “Kamu harus mengingat Allah selalu. Sebab itu merupakan penawar dan jauhilah mengingat-ingat manusia sebab itu adalah penyakit. Semoga Allah memberikan taufik agar selalu taat kepada Allah.”[12]

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1.      Dari hadits tentang larangan buruk sangka dapat diambil faedah sbb:
a.       Larangan berprasangka buruk tanpa ada faktor penguat atau qorinah tertentu
b.      Prasangka buruk merupakan sedusta-dustanya perkataan
c.       Anjuran berprasangka baik terhadap sesama muslim
d.      Islam sangat menjaga hubungan baik antar manusia, sehingga segala sesuatu yang meretakkan hubungan baik tersebut, Islam pasti melarangnya
2.      Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits diatas memaparkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
a.       Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal yang haram.
b.      Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil.
c.       Menjawab salam
d.      Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar
3.      Berita kejelekan orang lain bukanlah untuk disebarluaskan, tetapi ini adalah bahan untuk introspeksi diri. Berburuk sangka, menggunjing, menghina, memfitnah, menertawakan, mencela dan mengolok-olok serta meneliti kesalahan orang lain adalah bagian dari akhlak tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebab akan menghancurkan keimanan yang telah tertanam di dalam hati dan hanya akan mengantarkan seseorang mendapatkan laknat Allah sehingga menjadi penghuni neraka.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Ibnu Katsier, Imam. 1992. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 7. Terj. H. Salim Bahreisy & H. Said Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hawwa, Sa’id. 2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Kajian hadits yang ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy yang judul aslinya adalah: “Haqq ath-Tharîq Sabtu, 14/02/1423 H = 27/04/2002 M
Sumber : http://suni2010.blogspot.com/2010/08/kode-etik-bagi-pengguna-jalan.html , Diakses Selasa, 01/10/2013, Pukul 15.23



[1] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 254.
[2] Imam Ibnu Katsier. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 7. Terj. H. Salim Bahreisy & H. Said Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1992. Hlm. 320.
[3]Ibid. Hlm. 320-321.
[4] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 255.
[5] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 215.
[6] Ibid. hlm. 215
[7] Maksudnya: Ahli-ahli kitab itu berpecah belah sesudah mereka mengetahui kebenaran dari nabi-nabi mereka. sesudah datang Nabi Muhammad s.a.w dan nyata kebenarannya merekapun tetap berpecah belah dan tidak mempercayainya
[8] Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab ialah ahli kitab yang hidup pada masa Nabi Muhammad s.a.w.
[9] Disadur dari kajian hadits yang ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy yang judul aslinya adalah: “Haqq ath-Tharîq Sabtu, 14/02/1423 H = 27/04/2002 M
Sumber : http://suni2010.blogspot.com/2010/08/kode-etik-bagi-pengguna-jalan.html , Diakses Selasa, 01/10/2013, Pukul 15.23.

[10] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 541.
[11] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 257.
[12] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm.  253.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Comment Dan Share Setelah Membaca :)