Saturday, 2 November 2013

ISTIHSAN


Compiled by: ANDIKA MAULANA


PENDAHULUAN

            Disamping empat dalil syara’ yang disepakati (muttafaq ‘alaiha) dikalangan jumhur ulama’ yaitu : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas,  terdapat dalil-dalil lain yang penggunaannya sebagai dalil tidak disepakati oleh seluruh ulama’ ushul fiqh (mukhtalaf fiha) yaitu : Istihsan, Mashalih Mursalah, ‘Urf dan yang lainnya.[1]

            Pada makalah ini kami akan membahas salah satu dari dalil yang tidak disepakati oleh jumhur ulama’ yaitu Istihsan. Sering terdapat kata Istihsan dalam pembicaraan ulama’ hanafi dan mereka sering menjadikannya sebagai lawan qiyas seraya berkata : Qiyas bisa menimbulkan keharaman dan istihsan bisa menimbulkan ibahah (pembolehan). Maka mereka menjadikannya dalil syar’i yang menentang dalil yang menyamainya dan mengadakan tarjih atasnya. Para penentang mereka telah menyangkal penamaan lafadz ini, karena mereka menganggapnya sebagai tasyri’ tanpa dalil. Dari sebab ini imam syafi’i berkata : “Barang siapa melakukan istihsan berarti ia telah membentuk hukum.[2]

            Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian Istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara itu, murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan, tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya. Apabila Abu Hanifah berkata : “Pakailah Istihsan”, maka tak seorangpun murid-muridnya yang menuruti perintahnya. Pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika pemakaian dalil itu pada situasi tertentu dinilai kurang pas, maka ia beralih kepada dalil Istihsan. Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Istihsan yang banyak dipakai oleh dua Imam Madzhab itu?[3]


POKOK PEMBAHASAN

1.       Pengertian Istihasan secara etimologi dan Istilah.

2.      Klasifikasi Istihsan
a.       Istihsan Qiyasi
b.      Istihsan Istitsna’i, meliputi :

1.      Istihsan bi an-Nash
2.      Istihsan bi al-Ijma’
3.      Istihsan bi al-‘Urf
4.      Istihsan bi al-Dharurah
5.      Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.      Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
  
3.      Pro kontra di sekitar kehujjahan Istihsan.


PEMBAHASAN

1.      Pengertian Istihsan

Dari segi etimologi, Istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain[4] :

a.    Menurut al-Bazdawi :

العدول عن موجب قياس الى قياس اقوى منه او هو تخصيص قياس بدليل اقوى منه

Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.

b.    Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari :

ان يعدل الإنسان عن ان يحكم فى المسألة بمثل ما حكم به فى نظائرها الى خلافه لوجه اقوى يقتضى العدول عن الأول

Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.

c.    Menurut Imam malik :
العمل بأقوى الدليلين , او الأخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي
Menetapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.

d.    Menurut Wahbah az-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu :

ترجيح قياس خفي على قياس جلي بناء على دليل

Lebih mengunggulkan qiyas khofi daripada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.

إستثناء مسألة جزئية من اصل كلي او قضية عامة بناء على دليل خاص يقتضي ذلك

Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yg bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.

2.      Klasifikasi Istihsan

Dari definisi –definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya Istihsan terdiri dari macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan Istitsna’i. Dibawah ini diuraikan lebih jauh gambaran keduanya sebagai berikut :

a.       Istihsan Qiyasi

Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut Istihsan qiyasi. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian Istihsan qiyasi.

Berdasarkan Istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum. Seperti sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya.

Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk kedalam tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas danging haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minum burung buas tidak najis dan halal diminum.

Pembedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.[5]

b.        Istihsan Istitsna’i

Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut :

1.      Istihsan bi an-Nashs

Istihsan bi an-Nashs ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Contoh Istihsan istitsna’i berdasarkan nash Al-Qur’an ialah, berlakunya ketentuan wasiat seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi atas hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain surah an-Nisa’ (4) : 12 :
  
"Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar hutangnya".

Contoh Istihsan istitsna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits :

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و سقاه

Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barang siapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.[6]

2.      Istihsan bi al-Ijma’

Istihsan bi al-Ijma’ ialah penglihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan Ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’ (seseorang bertransaksi dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah SAW bersabda :

لا تبع ما ليس عندك

Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.

Berdasarkan hadits diatas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna’ tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap ulama tersebut dipandang sebagai Ijma’, demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang.[7]

3.      Istihsan bi al-‘Urf

Istihsan bi al-‘Urfi ialah, pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku.


Contoh Istihsan bi al-‘urf ialah menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui Istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.[8]

4.      Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi al-dharurah ialah, suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam halnya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air) ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan Istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.[9]

5.      Istihsan bi al-Maslahah

Adapun meninggalkan dalil umum dengan dasar al-Maslahah, dicontohkan dengan kasus beban penjaminan/pertanggungan buruh yang berkongsi. Berdasarkan kaedah al-ashl, buruh yang berkongsi merupakan orang yang terpercaya; dan orang yang demikian tidak perlu dibebani penjaminan/pertanggungan kecuali jika telah tampak jelas kelakuan khianatnya. Akan tetapi, berdasarkan dalil Istihsan, Imam Malik berpandangan bahwa buruh yang berkongsi tersebut tetap dibebani penjaminan/pertanggungan dan beliau meninggalkan kaidah al-ashl diatas pada masa hidup beliau, dikalangan buruh nyaris lenyap rasa tanggung jawab dan marak kelakuan khianat; dan inilah sisi al-maslahah dimaksud. Jadi, al-maslahah ini dijadikan dasar dari pengecualiankaidah al-ashl.[10]

6.      Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah

Kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran) merupakan kaidah yang bersifat qoth’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa, lama masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan. Menurut kaidah umum atau al-ashl, kasus demikian dilarang sebab mengandung garar. Berdasarkan Istihsan, kasus demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran) karena pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah).[11]

3. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan

Pendapat Ulama’ terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dali syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa yang menggunakan Istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.[12]

Para ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen, diantaranya adalah sebagai berikut :

a.       Menggunkan Istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 185:

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".

b.      Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 55 :

"Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya",

c.       Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 18:
"Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal".

Menurut ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah, surah az-Zumar (39): 18; memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik; sedangkan az-Zumar (39): 55; memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.[13]

d.      Ucapan Abdullah bin Mas’ud RA :

فما رأّه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.[14]

Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan Istihsan mengemukakan dalil, antara lain, sebagai berikut :

a.        Surah al-Ma’idah (5): 3:

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu".

b.      Surah al-Qiyamah (75): 36 :

"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?"

c.       Surah an-Nahl (16): 89 :

"Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".

d.      Surah al-An’am (6): 38:
  "Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab."
e.       Surah an-Nahl (16): 44 :

'keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,'

f.       Surah al-Ahzab (33): 2 :

"Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu."

g.       Surah al-Ma’idah (5): 49 :

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka"

h.      Surah Shad (38): 26 :

"Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil"

i.        Hadits

ما تركت شيئا مما امركم الله به الا وقد امرتكم به ولا شيئا مما نهاكم عنه الا وقد نهيتكم عنه



Aku tidak membiarkan sesuatu yang Allah perintahkan kepadamu kecuali aku juga sungguh-sungguh memerintahkannya kepadamu; demikian juga aku tidak membiarkan sesuatu pun yang Allah larang terhadapmu untuk mengerjakannya kecuali aku pun melarangnya juga terhadapmu. (HR. Al-Syafi’i)[15]

j.        Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan Istihsan yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.

k.      Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan Istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.

Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat diantara mereka hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang dikemukakan oleh ulama’ yang menolak kehujjahan Istihsan adalah Istihsan yang semata-mata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada dali syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian Istihsan sebelumnya, semua bentuk Istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an atau Sunnah, atau Ijma’, atau Mashlahah Mursalah yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.

Pada hakikatnya, Istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi substansi Istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan Istihsan sebagai dalil syara’.[16]


KESIMPULAN

            Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan :

1.      Istihsan, secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik.”  Secara terminologis, Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, namun dapat disimpukan bahwa Istihsan ialah berpalingnya sang mujtahid dari tuntunan qiyas jaly kepada tuntunan qiyas khafy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukum kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.

2.      Dari definisi –definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya Istihsan terdiri dari macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan Istitsna’i.

a.       Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut Istihsan qiyasi.

b.      Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut :

1.      Istihsan bi an-Nash
2.      Istihsan bi al-Ijma’
3.      Istihsan bi al-‘Urf
4.      Istihsan bi al-Dharurah
5.      Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.      Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah

3.      Pendapat Ulama’ terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa yang menggunakan Istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Rahman Dahlan, Abd. 2011. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH.
2.      Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH.
3.      Al-Khudhari Biek, Muhammad. 2007. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien. Jakarta : Pustaka Amani.
4.      Abu Zahrah, Muhammad. 1995. USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta : PT Pustaka Firdaus



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 196.
[2] Syaikh Muhammad al-Khudari Biek. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien. Jakarta : Pustaka Amani. 2007. hlm. 732.
[3] Prof. Muhammad Abu Zahrah. USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta. PT Pustaka Firdaus. 1995. hlm. 401.
[4] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 197-198.
[5] Ibid. Hlm. 198-200.
[6] Ibid. Hlm. 200.
[7] Ibid. Hlm. 201.
[8] Ibid. hlm. 202.
[9] Ibid. Hlm. 202.
[10] Dr. Asmawi, M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 112.
[11] Ibid. Hlm. 113
[12] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 203.
[13] Dr. Asmawi, M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 119.
[14] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 204.
[15] Dr. Asmawi, M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. Hlm. 120-122.
[16] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 205-206.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Comment Dan Share Setelah Membaca :)