Compiled by: ANDIKA MAULANA
PENDAHULUAN
Disamping
empat dalil syara’ yang disepakati (muttafaq ‘alaiha) dikalangan jumhur
ulama’ yaitu : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, terdapat dalil-dalil lain yang penggunaannya
sebagai dalil tidak disepakati oleh seluruh ulama’ ushul fiqh (mukhtalaf
fiha) yaitu : Istihsan, Mashalih Mursalah, ‘Urf dan yang lainnya.[1]
Pada
makalah ini kami akan membahas salah satu dari dalil yang tidak disepakati oleh
jumhur ulama’ yaitu Istihsan. Sering terdapat kata Istihsan dalam pembicaraan
ulama’ hanafi dan mereka sering menjadikannya sebagai lawan qiyas seraya
berkata : Qiyas bisa menimbulkan keharaman dan istihsan bisa menimbulkan ibahah
(pembolehan). Maka mereka menjadikannya dalil syar’i yang menentang dalil yang
menyamainya dan mengadakan tarjih atasnya. Para penentang mereka telah
menyangkal penamaan lafadz ini, karena mereka menganggapnya sebagai tasyri’
tanpa dalil. Dari sebab ini imam syafi’i berkata : “Barang siapa melakukan
istihsan berarti ia telah membentuk hukum.”[2]
Istihsan
adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum
oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik
menilai, pemakaian Istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara
itu, murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan,
tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya.
Apabila Abu Hanifah berkata : “Pakailah Istihsan”, maka tak seorangpun
murid-muridnya yang menuruti perintahnya. Pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih
tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika
pemakaian dalil itu pada situasi tertentu dinilai kurang pas, maka ia beralih
kepada dalil Istihsan. Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Istihsan
yang banyak dipakai oleh dua Imam Madzhab itu?[3]
POKOK PEMBAHASAN
1.
Pengertian Istihasan
secara etimologi dan Istilah.
2. Klasifikasi Istihsan
a. Istihsan Qiyasi
b. Istihsan Istitsna’i, meliputi :
1.
Istihsan bi an-Nash
2.
Istihsan bi al-Ijma’
3.
Istihsan bi al-‘Urf
4.
Istihsan bi al-Dharurah
5.
Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
3.
Pro kontra di
sekitar kehujjahan Istihsan.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Istihsan
Dari segi etimologi, Istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan ulama, antara lain[4] :
a. Menurut al-Bazdawi :
العدول عن موجب
قياس الى قياس اقوى منه او هو تخصيص قياس بدليل اقوى منه
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih
kuat dari qiyas yang pertama.
b. Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari :
ان يعدل الإنسان
عن ان يحكم فى المسألة بمثل ما حكم به فى نظائرها الى خلافه لوجه اقوى يقتضى
العدول عن الأول
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya
berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor
yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang
pertama.
c. Menurut Imam malik :
العمل بأقوى
الدليلين , او الأخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي
Menetapkan yang terkuat
diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial
dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.
d. Menurut Wahbah az-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu :
ترجيح قياس خفي
على قياس جلي بناء على دليل
Lebih mengunggulkan qiyas khofi daripada qiyas jali berdasarkan alasan
tertentu.
إستثناء مسألة
جزئية من اصل كلي او قضية عامة بناء على دليل خاص يقتضي ذلك
Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yg
bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian
tersebut.
2. Klasifikasi Istihsan
Dari definisi –definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada
hakikatnya Istihsan terdiri dari macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan
Istitsna’i. Dibawah ini diuraikan lebih jauh gambaran keduanya sebagai berikut
:
a.
Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum
yang didasarkan pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada
qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum
tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Istihsan
dalam bentuk pertama inilah yang disebut Istihsan qiyasi. Contoh dibawah ini
akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian Istihsan qiyasi.
Berdasarkan Istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum. Seperti sisa minuman burung
gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang
buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa
minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan
kepada dagingnya.
Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga
air liurnya masuk kedalam tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas
berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan
dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas danging haram dimakan, sedang paruh
burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk
tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara
langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas
tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minum burung buas tidak
najis dan halal diminum.
Pembedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman
binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan
ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram),
kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya
alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.[5]
b.
Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan
hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu
yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan
istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam
sebagai berikut :
1.
Istihsan bi an-Nashs
Istihsan bi an-Nashs ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada
ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang
mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Contoh Istihsan istitsna’i berdasarkan nash Al-Qur’an ialah, berlakunya
ketentuan wasiat seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang
telah wafat, ia tidak berhak lagi atas hartanya, karena telah beralih kepada
ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an,
antara lain surah an-Nisa’ (4) : 12 :
"Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar
hutangnya".
Contoh Istihsan istitsna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya
puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum,
makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut
dikecualikan berdasarkan hadits :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و
سقاه
Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barang siapa
yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan
minum kepadanya.[6]
2.
Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi al-Ijma’ ialah penglihan hukum dari ketentuan umum kepada
ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan Ijma’ yang
mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’
(seseorang bertransaksi dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga
tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan
transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah SAW bersabda :
لا تبع ما ليس عندك
Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan hadits diatas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena
ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi,
transaksi istitsna’ tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik
tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap
ulama tersebut dipandang sebagai Ijma’, demi memelihara kebutuhan masyarakat,
dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang.[7]
3.
Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan bi al-‘Urfi ialah, pengecualian hukum dari prinsip syariah yang
umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh Istihsan bi al-‘urf ialah menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh
atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus
berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui
Istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku,
demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan
mereka terhadap transaksi tersebut.[8]
4.
Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi al-dharurah ialah, suatu keadaan darurat yang mendorong
mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan
lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh,
menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara
menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur
atau kolam halnya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata
air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang
bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air)
ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air
akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat,
berdasarkan Istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.[9]
5.
Istihsan bi al-Maslahah
Adapun meninggalkan dalil umum dengan dasar al-Maslahah, dicontohkan dengan
kasus beban penjaminan/pertanggungan buruh yang berkongsi. Berdasarkan kaedah
al-ashl, buruh yang berkongsi merupakan orang yang terpercaya; dan orang yang
demikian tidak perlu dibebani penjaminan/pertanggungan kecuali jika telah
tampak jelas kelakuan khianatnya. Akan tetapi, berdasarkan dalil Istihsan, Imam
Malik berpandangan bahwa buruh yang berkongsi tersebut tetap dibebani
penjaminan/pertanggungan dan beliau meninggalkan kaidah al-ashl diatas pada
masa hidup beliau, dikalangan buruh nyaris lenyap rasa tanggung jawab dan marak
kelakuan khianat; dan inilah sisi al-maslahah dimaksud. Jadi, al-maslahah ini
dijadikan dasar dari pengecualiankaidah al-ashl.[10]
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
Kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran)
merupakan kaidah yang bersifat qoth’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi
umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa, lama masa pemakaian, dan jumlah air
yang digunakan. Menurut kaidah umum atau al-ashl, kasus demikian dilarang sebab
mengandung garar. Berdasarkan Istihsan, kasus demikian dibolehkan dengan dasar
pertimbangan Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran)
karena pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah menjadi kebutuhan
masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah).[11]
3. Pro Kontra di Sekitar
Kehujjahan Istihsan
Pendapat Ulama’ terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan.
Pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil syara’. Mereka
ini adalah madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan
kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah
asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa
menggunakan Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk
bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum
yang ditetapkan dali syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. Bahkan
diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam
asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa yang menggunakan Istihsan berarti ia telah
menetapkan hukum syara’ sendiri”.[12]
Para ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan
banyak argumen, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Menggunkan Istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit,
sesuai dengan firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 185:
"Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".
b.
Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 55 :
"Dan ikutilah
Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya",
c.
Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 18:
"Yang mendengarkan
Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal".
Menurut ulama’ Malikiyyah
dan Hanafiyyah, surah az-Zumar (39): 18; memuji orang-orang yang mengikuti
pendapat yang paling baik; sedangkan az-Zumar (39): 55; memerintahkan untuk
mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.[13]
d.
Ucapan Abdullah bin Mas’ud RA :
فما رأّه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Sesuatu yang dipandang
baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.[14]
Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan Istihsan mengemukakan
dalil, antara lain, sebagai berikut :
a.
Surah al-Ma’idah (5): 3:
"Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu".
b.
Surah al-Qiyamah (75): 36 :
"Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?"
c.
Surah an-Nahl (16): 89 :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri".
d.
Surah al-An’am (6): 38:
"Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab."
e.
Surah an-Nahl (16): 44 :
'keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,'
f.
Surah al-Ahzab (33): 2 :
"Dan ikutilah apa
yang diwahyukan Tuhan kepadamu."
g.
Surah al-Ma’idah (5): 49 :
"Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka"
h.
Surah Shad (38): 26 :
"Hai Daud,
Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil"
i.
Hadits
ما تركت شيئا
مما امركم الله به الا وقد امرتكم به ولا شيئا مما نهاكم عنه الا وقد نهيتكم عنه
Aku tidak membiarkan
sesuatu yang Allah perintahkan kepadamu kecuali aku juga sungguh-sungguh
memerintahkannya kepadamu; demikian juga aku tidak membiarkan sesuatu pun yang
Allah larang terhadapmu untuk mengerjakannya kecuali aku pun melarangnya juga
terhadapmu. (HR. Al-Syafi’i)[15]
j.
Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan Istihsan yang
dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau
tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
k.
Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang
terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan Istihsan dibenarkan, tentu
setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan,
pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang
mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat diantara mereka
hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang
dikemukakan oleh ulama’ yang menolak kehujjahan Istihsan adalah Istihsan yang
semata-mata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada
dali syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian Istihsan sebelumnya,
semua bentuk Istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an
atau Sunnah, atau Ijma’, atau Mashlahah Mursalah yang juga sejalan dengan
prinsip-prinsip syara’.
Pada hakikatnya, Istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan
ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum
lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini
yang menjadi substansi Istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang
ulamapun yang menolak keberadaan Istihsan sebagai dalil syara’.[16]
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Istihsan, secara
etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik.” Secara terminologis, Ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, namun dapat disimpukan bahwa Istihsan ialah
berpalingnya sang mujtahid dari tuntunan qiyas jaly kepada tuntunan qiyas khafy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang
mujtahid dari tuntutan hukum kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan
dasar pikiran tertentu yang rasional.
2. Dari definisi –definisi
diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya Istihsan terdiri dari
macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan Istitsna’i.
a.
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum
yang didasarkan pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada
qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum
tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Istihsan
dalam bentuk pertama inilah yang disebut Istihsan qiyasi.
b.
Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan
hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu
yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan
istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam
sebagai berikut :
1.
Istihsan bi an-Nash
2.
Istihsan bi al-Ijma’
3.
Istihsan bi al-‘Urf
4.
Istihsan bi al-Dharurah
5.
Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
3. Pendapat Ulama’ terbagi
dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok yang
berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah madzhab
Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua
yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i,
Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan
Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan
cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Diantara mereka
adalah Imam Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya
sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa yang
menggunakan Istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahman Dahlan, Abd. 2011.
USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH.
2. Asmawi. 2011. Perbandingan
Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH.
3. Al-Khudhari Biek,
Muhammad. 2007. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien. Jakarta : Pustaka
Amani.
4. Abu Zahrah, Muhammad.
1995. USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid
Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta : PT Pustaka Firdaus
[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan,
M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 196.
[2] Syaikh Muhammad al-Khudari Biek. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien.
Jakarta : Pustaka Amani. 2007. hlm. 732.
[3]
Prof. Muhammad Abu Zahrah.
USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad,
Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta. PT Pustaka Firdaus. 1995. hlm. 401.
[4] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan,
M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 197-198.
[5] Ibid. Hlm. 198-200.
[7] Ibid. Hlm. 201.
[8] Ibid. hlm. 202.
[9] Ibid. Hlm. 202.
[10] Dr. Asmawi, M.Ag.
Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 112.
[11] Ibid. Hlm. 113
[12] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm.
203.
[13] Dr. Asmawi, M.Ag.
Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 119.
[14] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan,
M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 204.
[16] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan,
M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 205-206.
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Comment Dan Share Setelah Membaca :)